Saturday 3 October 2009

IDENTITAS KENUSANTARAAN : PERSPEKTIF KEBUDAYAAN DALAM POLITIK KESENIAN MALAYSIA-INDONESIA

OLEH

Tjetjep Rohendi Rohidi

Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia

(Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Khasanah Seni Rupa Nusantara, 2 - 3 Oktober 2009, di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha)

ABSTRAK

Tulisan ini bermaksud hendak membahas sumber daya lingkungan alam-fisik, sosio-budaya, dan perubahannya yang dijadikan rujukan bagi menegaskan identitas bangsa di Indonesia dan Malaysia; Nusantara. Nusantara sebagai rujukan sumber daya bersama, saat ini menghadapi tantangan baru yang tumbuh sebagai akibat dari perkembangan ekonomi, politik dan sosial-budaya di kedua negara yang bersangkutan. Kenusantaraan mendapat tantangan dari persepsi-persepsi baru yang timbul sebagai akibat dari penggalangan politik baik yang terjadi di Indonesia maupun di Malaysia, yang menghadapi masalah-masalah internal dan eksternal yang berbeda di dalam menegaskan dirinya masing-masing dalam percaturan dunia global. Dalam kaitan hubungan dua-arah, Indonesia-Malaysia, pergesekan-pergesekan politik dengan mengatasnamakan budaya menjadi semakin kerap dilihat dan didengar.

Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan kepada cara pandang, sistem kepranataan yang muncul, di kedua bangsa ini dalam mengakomodasikan sumber daya kenusantaraannya sebagai rujukan untuk membangun identitas dan menggalang integritasnya, dan lebih jauh lagi membangun politik keseniannya, khususnya ketika mereka berhadapan dua-arah secara vis a vis. Tulisan diharapkan dapat memberikan informasi ringkas, sebagai dasar untuk membangun kesadaran budaya dan strategi budaya dalam berpolitik kesenian, baik bagi pihak Indonesia maupun Malaysia. Suatu strategi yang mampu meningkatkan rasa saling memahami dan menghargai proses intergritas di kedua Negara, yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membangun institusi politik kesenian, dan yang diharapkan dapat memberi keuntungan secara resiprokal.


PENDAHULUAN

Tulisan ringkas ini hendak membicarakan perkara-perkara yang berkenaan dengan persepsi, pandangan, dan konsep yang sering diperbincangkan orang dari pelbagai kalangan mengenai kenusantaraan sebagai benda abstrak yang dikaitkan dengan identitas dan integritas bangsa, khususnya di Malaysia dan Indonesia, dan pelbagai implikasinya dalam kehidupan sosial-budaya, khususnya dalam kehadiran dan upaya menegaskan diri masyarakat yang bersangkutan dalam lalu-lintas budaya yang semakin terbuka dewasa ini.

Masalah kenusantaraan tersebut hendak dibahas melalui perspektif kebudayaan, yaitu pandangan-pandangan yang merefleksikan cara-cara berfikir masyarakat mengenai diri, alam semesta, sesama, yang adikodrati, dan hasil-hasil karyanya, yang terwujud dalam tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan hidupnya yang hakiki. Dalam konteks ini pula, masalah identitas dan integritas suatu masyarakat dikukuhkan dan diperjuangkan kehadirannya bukan saja bagi kepentingan keunggulan atau keunikan bangsa, tetapi juga digelindingkan sebagai upaya politik kebangsaan dan pelbagai masalah ikutannya yang bermata ganda; di satu segi menjadi alat pemersatu kesadaran dan pemahaman budaya yang bersifat prospektif, di segi lain menimbulkan ketegangan-ketegangan yang berkaitan dengan hak-hak kepemilikan budaya yang dianggap dengan sendirinya sudah melekat secara historis.

Kesenian merupakan salah satu unsur budaya penting yang senantiasa dikaitkan dengan masalah kenusantaraan, khususnya menjadi penegas identitas dalam keunikannya dan menjadi perekat dalam kesamaannya yang memperkukuhkan integritas bagi pengembangan dan keunggulannya di masa depan. Dan oleh karena itu, menjadi penting bagi masyarakat bangsa Malaysia dan Indonesia untuk menjalankan politik kesenian, berasaskan kenusantaraan, dalam memainkan peranan budayanya, baik secara vis a vis sebagai bangsa yang terikat oleh politik negara masing-masing maupun secara lebih terbuka dengan bangsa-bangsa lain dalam skala global.

Nusantara sebagai Sumber Gagasan

Nusantara sebagaimana makna semantik yang melekat di dalamnya, secara umum bermakna suatu kesatuan wilayah yang ditandai secara fisik oleh pulau-pulau dan kepulauan yang menyebar dan saling mengantarai bukan saja antarpulau, tetapi juga antarbenua. Ia menjadi wilayah tempat lalu lintasnya berbagai kepentingan (politik, ekonomi, ideologi, dan agama). Ia merupakan suatu kawasan budaya besar, yang rentangannya mengandaikan adanya hubungan laut yang tetap, yang bersamaan masa dengan munculnya teknik perunggu dan besi di wilayah ini; berupa nekara dan mokko yang ditemukan di berbagai wilayah (a.l. Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Bali, Sumbawa, Nusa Tenggara, dan kepulauan-kepulauan Indonesia bagian timur) (lihat Lombart, 1996).

Dan dengan demikian dapat dipahami jika kemudian Nusantara menjadi suatu medan budaya yang unik dengan keberagaman budayanya yang merentang secara geografis dan mengakar serta berkembang secara historis; ia menjadi wilayah bentukan budaya secara sinkronik maupun diakronik. Konsep kenusantaraan ini, menjadi kesadaran, rasa kepemilikan, dan sumber gagasan dan sumber dasar dalam pengembangan politik, yang terefleksikan dalam nilai kehidupan berbangsa, yaitu masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai bangsa dalam sistem negara modern, sebagai acuan nilai bagi pergerakan, pertumbuhan, dan perkembangan bangsa di Indonesia dan Malaysia.

Dalam kaitan ini pula, konsep ”Nusantara” dewasa ini digalang dan disesuaikan dengan persepsi politik dan keyakinan-keyakinan budaya yang menjadi rujukan masyarakat yang menjadi pendukungnya. Di Malaysia, konsep ini merujuk kepada lingkungan pengaruh kebudayaan dan linguistik orang Melayu yang merangkumi kepulauan Indonesia, Malaysia, Singapura, bagian paling selatan Thailand, Filipina, Brunei, Timor dan mungkin juga Taiwan, tanpa melibatkan daerah Papua. Istilah padanan untuk ”Nusantara” dalam bahasa Melayu ialah ”Alam Melayu”, namun istilah Nusantara kini juga digunakan secara meluas di Malaysia.

Di Indonesia, Nusantara sebagai sebuah konsep kewilayahan (budaya, politik, sosial, dan kesenian) sering dikaitkan dengan kejayaan dan pengaruh politik kerajaan besar di masa lalu (Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit) di kawasan-kawasan budaya serupa, tanah jajahan, jelajah, dan lingkungan pengaruhnya yang merentang mulai dari pusatnya (Jawa), meluas sebarannya ke antara lain, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Sulawesi, Halmahera, Madura, Bali, Nusa Tenggara, pula-pulau kecil di antara pulau-pula besar tersebut dan kepulauan-kepulauan Indonesia Timur. Masuknya wilayah Papua ke dalam negara RI, menjadi pemerkaya rentangan konsep kewilayahan itu; Nusantara adalah wilayah negara Indonesia plus (dilihat dari aspek politik kenegaraan dan aspek budaya).

Yang perlu ditegaskan di sini, dan yang lebih mungkin, adalah fakta sejarah (Parakitri Simbolon, 2006) yang menunjukkan bahwa masyarakat dan kebudayaan Nusantara merupakan campur-baur kelompok masyarakat, yang berasal dari dan berkembang di, berbagai wilayah pulau dan daratan di sekelilingnya. Ia merupakan potensi lokal yang istimewa, keagungan sejarah yang menyiratkan keharmonian kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, sekalipun pastilah penduduk Nusantara bukan keturunan langsung makhluk yang fosilnya ditemukan puluhan ribu tahun yang lalu. Dalam konteks hubungan atau keterkaitan budaya Melayu dan Jawa (sebagai representasi kebudayaan Malaysia dan Indonesia saat ini), pantun Melayu berikut menjelaskannya: ”Kalau roboh kota Melaka/papan di Jawa hamba dirikan/kalau sungguh bagai dikata/badan dan nyawa hamba berikan.”

Namun, kemerdekaan bangsa di dua negara (Indonesia dan Malaya kemudian menjadi Malaysia) ini berimplikasi pada cara pandang baru yang lebih bersifat politik dalam rangka melakukan usaha peneguhan dan perjuangan menegakkan identitas dirinya masing-masing, tetapi dengan sumber yang relatif sama. Cara pandang dan orientasi politik baru ini memunculkan berbagai masalah dan tantangan, yang dalam konteks tulisan ini, terutama ditandai dengan kenusantaraan dengan Melayu sebagai pusatnya di satu pihak, dan di pihak lain kenusantaraan dengan Jawa sebagai titik puncak hierarkinya (lihat Geertz, 1998).

Dalam upaya penggalangan kebangsaan (nationhood) di kedua bentuk kebangsaan (modern) yang menyatakan dirinya sebagai Indonesia dan Malaysia tersebut secara internal tidak bisa dihindari pula upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat (society) dan kekuasaan negara (state) di pihak lain. Dalam rangkaian upaya itu, benturan kedua pihak tidak bisa dihindarkan, dan benturan yang berakhir pada dominasi satu pihak justru akan mengancam kelangsungan hidup negara atau masyarakat yang bersangkutan. Dan dalam hubungan dua arah (Indonesia-Malaysia), masalah internal ini muncul; dan terefleksikan ke dalam bentuk berbagai persepsi yang menimbulkan persentuhan, pergesekan, perbenturan, dan saling-silangnya upaya pencarian dan peneguhan identitas masing-masing bentuk ciri dan sifat kebangsaannya.

KEBUDAYAAN

Manusia hidup dalam suatu kebudayaan, yang di dalamnya berisikan simbol-simbol yang menyiratkan makna. Ia dihayati dan menjadi pemahaman bersama dalam kelompok masyarakatnya (Geertz (1973). Manusia menggunakan kebudayaanya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama oleh kelompok masyarakatnya. Dalam pandangan Raymond Firth (1975) simbol dirumuskan sebagai kemampuan ganda untuk menyatakan dan menyembunyikan, atau bahkan kemampuan untuk menyatakan sesuatu dengan menyembunyikan, dan menyembunyikan sesuatu dengan menyatakannya. Simbol sebagai gabungan dari concealment dan revelation.

Kebudayaan dapat dipandang juga sebagai suatu sistem. Dalam pengertian ini kebudayaan dipandang sebagai satuan kajian yang terdiri dari unsur-unsur yang berfungsi, beroperasi, atau bergerak dalam kesatuan sistem. Konsep kebudayaan juga dipahami sebagai satuan sistemik; pengertian yang merujuk pada aspek individual, sosial, dan budaya dari kehidupan manusia sebagai unsur-unsur yang mempunyai fungsi pedoman dan energi secara timbal balik (lihat Parsons, 1966; Spindler, 1977:3-9; Spradley,1972: Suparlan, 1985: 8-11). Oleh karena itu, kebudayaan dalam konsep ini juga disebut sebagai sistem sosial-budaya

Dalam pemahaman ini kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Isi kebudayaan ialah perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Model-model pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh anggota masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan pengetahuan, bersikap serta bertindak ketika berhadapan dengan sumber daya lingkungan dalam usahanya untuk memenuhi pelbagai kebutuhannya (Geertz, 1973: 89; lihat juga Suparlan, 1985: 3-5). Dalam pengertian tersebut, tersirat bahwa kebudayaan; pertama, merupakan pedoman hidup yang berfungsi sebagai blueprint atau desain menyeluruh bagi kehidupan anggota masyarakat pendukungnya; kedua, sebagai sistem simbol, pemberian makna, atau model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik; dan ketiga, merupakan strategi adaptif bagi melestraikan dan mengembangkan kehidupan dalam bentuk proses menyiasati sumber alam-fisik dan sosio-budaya di lingkungannya.

Rapoport (1980: 9-10) mengemukakan bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai latar bagi suatu kelompok manusia. Ia bersifat normatif bagi kelompok tertentu dan dapat melahirkan gaya hidup tipikal dan bermakna yang berbeda dengan kelompok lainnya. Kebudayaan merupakan latar bagi perwujudan tingkah laku dan karya manusia dan memberikan sumbangan bagi terbentuknya suatu gaya hidup yang khas. Lestarinya sumbangan itu kemudian menjadi semakin rapat dan menyatu dalam kehidupan bersama, dengan demikian segala sesuatu yang tampil sebagai tingkah laku dan karya manusia itu semakin jelas kaitannya dengan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat. Gaya hidup tersebut hanya mungkin terwujud melalui aturan-aturan yang diterapkan berasaskan kepada perangkat model kognitif, sistem simbol, dan pelbagai pandangan dan cita-cita yang menjadi rujukan bersama. Akhirnya, baik gaya hidup atau pun sistem simbolik dapat menjadi bagian dari strategi adaptif dalam latar lingkungan mereka.

Pembicaraan tentang kebudayaan secara empiris senantiasa dikaitkan dengan suatu kelompok manusia yang mempunyai seperangkat nilai dan kepercayaan yang merujuk pada cita-cita tertentu. Kebudayaan ditransmisikan kepada kelompok lain melalui proses enkulturasi. Kebudayaan menjadi kerangka bagi munculnya gaya hidup dan pilihan-pilihan yang konsisten dan sistematik dalam bentuk gaya hidup, gaya bangunan, suatu panorama buatan, gaya seni, atau lingkungan fisik.

Melalui pemahaman konsep kebudayaan tersebut, hendak dicoba untuk memberikan gambaran struktur umum dari kebudayaan atau sistem sosio-budaya Indonesia dan Malaysia, berdasarkan kepada sumber daya lingkungan (alam-fisik, sosio-budaya, sejarah, dan perubahan-perubahannya) Nusantara, rujukan nilai yang dikembangkan dan cenderung berkembang, kebutuhan-kebutuhan hidup nyata yang dihadapi, lembaga atau pranata sosial yang dikembangkan dan dapat dimanfaatkan, serta pola-pola tingkah laku atau gaya hidup yang mungkin muncul dari keterkaitan unsur-unsur tersebut.

Nusantara sebagai sumber daya yang menjadi rujukan bagi pemenuhan kebutuhan pembentukan identitas merupakan suatu wilayah bentangan fisik dan alam, zamrud mutu manikam budaya, keunikan masyarakat dan sifat keterbukaannya, sejarah dan keagungannya, telah dipersepsikan melalui cara pandang yang berkembang di masing-masing negara. Di Malaysia Nusantara lebih dikonsepsikan sebagai penyebaran ras dan kebudayaan Melayu, yang terutama didasarkan kepada pesebaran bahasa Melayu yang digunakan sebagai pengantar dalam berkomunikasi di wilayah Nusantara. Di Indonesia, seperti telah dikemukakan di atas, dikonsepsikan sebagai keagungan atau kebesaran budaya dan daya jelajah kekuasaan dan hubungan dari kerajaan-kerajaan besar di masa silam. Dari cara pandang tersebut sebagai implikasinya segera nampak beberapa perkara yang bersifat ambivalensi berkenaan dengan medan sosial yang dihadapi secara internal, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer-sosial-integratif di masyarakat kedua negara ini, serta daya adaptasinya terhadap perubahan-perubahan global.

Dalam menegaskan identitas Malaysia, Melayu dengan kemampuan ”daya sebar”nya menghadapi tantangan (dari dalam) berhadapan dengan masyarakat Malaysia dewasa ini yang pelbagai dengan kebudayaan ”besar”nya masing-masing, yang cenderung menunjukkan ciri sebagai bangsa ”multisociety” --sebuah bentuk bangsa dengan ciri pengenalan kelompok masyarakat yang mengental dengan ciri-ciri ras, ciri-ciri sosial, dan penonjolan sosial lainnya yang antara lain ditandai dengan wujudnya sistem partai dan pendidikan yang bersifat relatif eksklusif. Tantangan dari luar -- globalisasi dengan pelbagai pandangan atau paham yang menyertainya, serta akibat-akibat negatifnya) juga merupakan tantangan yang tidak kalah besarnya dalam menegaskan identitas bangsa (lihat Abu Hassan Hasbullah, 2009). Daya sebar kebudayaan Melayu nampak semakin kehilangan energinya menghadapi tantangan-tantangan ini. Ia memerlukan sumber energi Nusantara untuk mengatasinya, di segi lain sentimen-sentimen lokalnya semakin menguat.

Indonesia dengan titik puncaknya Jawa, dengan kemampuan ”daya serap”nya cenderung menampilkan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Goenawan Muhamad, 2009) ” ... orang Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni atau ataukah ia punya darah Cina, Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya.”. Indonesia bukan sekadar multikultural, tapi juga interkultural; tiap orang yang jadi Indonesia karena memasukkan kebudayaan lain ke dalam dirinya. Sebab Indonesia bukan ke-bhinneka-an yang tersekat-sekat; Indonesia adalah sebuah proses yang eklektik, bercampur, berbaur dengan bebas, siapa saja yang menggerakkan ”kami” menjadi ”kita”. Walaupun demikian, penyerapan itu terjadi ke arah titik pusatnya, yang tersusun secara hierarkis dengan Jawa sebagai puncaknya. Di sini akan segera nampak bahwa dalam perkembangan atau daya sebar keluar, kebudayaan dengan daya serap tinggi itu mengental menjadi sikap memiliki yang mutlak yang kehilangan sifat reflektifnya, bahkan dalam beberapa hal menjadi sikap negatif, ketakutan akan kehilangan yang berlebihan.

Pada peringkat hubungan antara negara (yang dalam hal ini direpresentasikan dalam bentuk pemerintahan) dengan masyarakat, di Indonesia dan Malaysia, nampak gejala yang muncul sebagai berikut. Indonesia, dalam perkembangan politik kebangsaannya (sekarang ini) menunjukkan kecenderungan bentuk hubungan di mana masyarakat memiliki potensi yang lebih kuat untuk mengembangkan kebudayaan, khususnya dalam hal menegaskan identitas keseniannya. Implikasi dari bentuk hubungan seperti ini adalah ruang kebebasan yang lebih longgar; senantiasa berposisi sebagai sesuatu yang in statu nascendi, dalam bentuk ”kami menjadi kita”; ekspresi lebih longgar. Dalam posisinya ini, nampak kecenderungan dalam cara memandang persoalan sebagai wilayah abu-abu (kelabu), wilayah yang terbuka untuk ditarik ke arah putih maupun hitam.

Di Malaysia, bentuk hubungan itu lebih menunjukkan wajah sebaliknya. Pemerintah (Bhs. Mly: kerajaan) menunjukkan kedudukan yang lebih kuat –bentuk dari dominasi Melayu sebagai inti kebangsaan Malaysia dalam mengatur hubungan politik, baik dalam menyelenggarakan kerja sama sosial maupun penanganan konflik, dengan bangsa lain (khususnya Cina dan India) yang memiliki kebudayaan yang tidak serumpun. Implikasi dari bentuk hubungan seperti ini adalah munculnya ketertiban dengan aturan yang ketat, dan demikian pula dalam pelaksanaannya; ekspresi lebih tertib. Cara memandang yang muncul, dari bentuk hubungan yang didominasi oleh pemerintah, adalah setiap persoalan senantiasa dilihat sebagai hitam dan putih, jelas, tegas, dan ketat.

Kecenderungan-kecenderungan yang muncul ini menunjukkan wajah ambivalen (kemenduaan) dengan orientasi nilai lama yang menjadi rujukan masyarakat Jawa dan Melayu. Jawa dengan nilai simbolik lama, sebagai sesuatu yang ”adi luhung”, mendapat tantangan dari kebebasan berekspresi yang muncul kemudian, yang lebih menghadap ke luar dan ke depan. Di dalam bidang kesenian, Melayu dengan daya sebarnya yang kuat, terbuka dan ke depan mendapat tantangan internal dari bentuk masyarakat yang menunjukkan watak ”multisociety” di Malaysia. Solusi mudahnya adalah mencari sumber-sumber lama dari wilayah Nusantara yang dianggap sebagai wilayah sebaran budaya ”Alam Melayu”, sebagai rujukan potensial, untuk mengatasi persaingan budayanya. Usaha ini, sekarang ini menjadi tidak mudah karena sumber-sumber lamanya itu sudah disekat oleh batas-batas politik negara; Kebudayaan Melayu yang secara konseptual berada dalam ruang pemikiran kini berhadapan dengan batas-batas teritorial politik.

KESENIAN SEBAGAI WUJUD IDENTITAS DAN INTEGRITAS BANGSA

Berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong ke dalam kebutuhan budaya atau seringkali juga disebut kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara asasi senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai makhluk yang bermoral, berakal-pikiran dan berperasaan. Kebutuhan estetik, baik langsung maupun tidak langsung, terserap dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan lainnya, baik kebutuhan primer, sekunder, ataupun kebutuhan integratif lainnya, yang berkaitan dengan perasaan baik dan benar, adil dan tidak adil serta masuk akal atau tidak masuk akal.

Pemenuhan kebutuhan estetik, seperti juga sebahagian besar pemenuhan kebutuhan lainnya, dilakukan manusia melalui kebudayaannya. Dalam pemenuhan kebutuhan estetik ini kesenian menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Kesenian merupakan unsur integratif yang mengikat dan mempersatukan pelbagai pedoman bertindak yang berbeda menjadi suatu desain bulat, menyeluruh, dan operasional serta dapat diterima sebagai perkara yang bernilai. Kedudukan seni menjadi pengintegrasi yang merefleksikan konfigurasi dari desain tersebut. Levi-Strauss (1963) menegaskan bahwa kesenian dapat menjadi satuan integrasi menyeluruh secara organik, yang di dalamnya gaya-gaya, asas-asas estetik, organisasi sosial dan agama, secara berstruktur saling berkaitan.

Dengan memandang kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan, atau subsistem dari kebudayaan, maka dengan jelas dapat dilihat fungsinya dalam kehidupan manusia. Kesenian, sebagaimana juga kebudayaan, dilihat dari kesejajaran konsepnya ialah pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya dalam mengadakan kegiatannya. Kesenian menjadi model kognisi, sistem simbolik, atau pemberian makna yang berkaitan dengan pelbagai simbol yang ditransmisikan secara historis. Model kognisi atau sistem simbol tersebut digunakan secara selektif oleh masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan, menghubungkan pengetahuan, dan bersikap serta bertindak untuk memenuhi kebutuhan integratifnya. Ia sentiasa berkaitan dengan pengungkapan atau pernyataan estetik (Osborne, 1970; lihat juga Rohidi; 2000).

Karena kebutuhan estetik setiap masyarakat tidak menunjukkan kecenderungan untuk selalu sama, dan pada segi lain pula lingkungan tempat kelompok itu bermukim juga tidak senantiasa sama, maka setiap masyarakat juga mengembangkan suatu strategi khas untuk pemuasan kebutuhan estetiknya. Dilihat dari aspek ini, selain sebagai pedoman, kesenian dapat dipandang sebagai strategi adaptif dari suatu kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan estetiknya dalam menghadapi kondisi persekitaran tertentu (bandingkan Rapoport, 1969).

Sebagai sistem simbol, kesenian berfungsi bagi penataan pencerapan manusia yang terlibat di dalamnya (lihat Cassirer, 1987). Dengan perkataan lain, ia berfungsi menata ekspresi atau perasaan estetik yang dikaitkan dengan segala ungkapan anekaragam perasaan atau emosi manusia (Parsons, 1961). Ia merupakan sistem pemberian makna estetik secara bersama. Ia merupakan penataan ekspresi estetik yang berkaitan dengan segala macam perasaan atau emosi manusia yang ditransmisikan secara historis sejak kanak-kanak, baik antargenerasi secara hierarkis ataupun intragenerasi sebaya.

Kesenian hadir, berkembang dan dibakukan dalam/dan melalui tradisi-tradisi sosial suatu masyarakat. Seperti halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, kesenian juga berfungsi untuk menopang dan mengekalkan kebersamaan masyarakat. Kesenian adalah milik masyarakat, walaupun pada hakikatnya yang menjadi pendukung kesenian tersebut ialah individu-individu warga masyarakat bersangkutan. Dalam realitasnya kesenian dapat dilihat sebagai cara hidup yang bertalian dengan keindahan dari para warga masyarakat.

Dengan demikian dapat dipahami, jika kemudian dalam menampilkan bentuk-bentuk keseniannya (Indonesia dan Malaysia), sesungguhnya secara tegas ingin menyampaikan bentuk-bentuk simbolik, pesan-pesan budaya, dan ciri-ciri yang menunjukkan keunikan, harga diri, dan martabat kebesaran budayanya. Kedua bangsa ini hendak menunjukkan identitasnya, yang dilakukan dengan pencarian sumber di masa lalu, pengolahan bentuk yang menunjukkan keunikan, dan penyerapan unsur-unsur lain yang akan memperkaya identitasnya. Penegasan identitas dalam konteks kebangsaan adalah usaha terus-menerus, progresif, aktif, dan bahkan semacam ”peperangan” untuk mencapai kegemilangan (lihat Piliang, 2002); identitas itu menunjukkan bentuk dan tingkat peradaban suatu bangsa.

Identitas kesenian, sesungguhnya ialah suatu sistem simbol yang khas yang dijadikan acuan nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, dan yang memungkinkan bagi orang lain untuk mengkategorikannya ke dalam suatu golongan tertentu. Perwujudan identitas kesenian menjadi nyata adanya kerana manifestasinya dalam bentuk hasil-hasil karya kesenian. Dalam proses perwujudan identitas kesenian terdapat seperangkat atribut mencakup pelbagai tanda dan simbol yang diungkapkan atau diekspresikan dalam bentuk visual (seni rupa), gerakan (seni tari), tingkah laku peran (seni drama), atau kata-kata (seni sastera), dan juga bangunan (arsitektur).

Sebagai sistem simbol yang menjadi rujukan nilai inilah, kesenian, dalam penegasan identitas sebagai pertaruhan harga diri bangsa, di Indonesia dan Malaysia, terjadi pergesekan, perbenturan, saling menghaki sumber-sumber daya tradisi utamanya, yaitu keunikan dan kebesaran peradaban Nusantara. Pergesekan terutama terjadi dalam usaha-usaha menegakkan bentuk-bentuk tradisi lama yang selama ini berada dalam wilayah kebudayaan, tetapi akhir-akhir ini ditanggapi sebagai milik wilayah poilitik dengan batas fisik teritorial yang jelas; sebuah pendangkalan pemahaman budaya. Akan tetapi di segi lain, Nusantara sebagai sumber penciptaan karya-karya baru, sebagai bentuk integritas yang berkembang secara positif, menunjukkan potensi besarnya untuk dialog dan pemahaman bersama yang bersifat apresiatif.


RUJUKAN

Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications, Inc.

Budhisantosa, S. 1981/1982. “Kesenian dan Nilai-Nilai Budaya”. Dalam: Analisis Kebudayaan. Tahun II, 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia. Terjemahan: Alois A. Noegroho. Jakarta: PT Gramedia.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Eisner, L. 1961. Introduction to Art: An Illustrated Topical Manual. Minneapolis: Burgess Publishing Company.

Geertz, Clifford. 1998. After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Terj.: Lindung Simatupang. Yogyakarta: LKiS.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.

Koentjaraningrat. 1975. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia.

Kroeber, A.L. dan C. Kluckhon. 1952. Culture, A. Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge: Peabody Museum of American Archeology.

Langer, S. K. 1964. Philosophy in a New Key; A Study in the Symbolism of Reason, Rite and Art. New York: Mentor Book, M.D.101.

Levi-Strauss, C (ed.). 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jaringan Asia (2). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Muhamad, Goenawan. 2009. “Catatan Pinggir: Nama Itu”, Dalam Majalah Tempo. 27 September 2009. Hlm. 114.

Otten, C.M. (ed.). Anthropology and Art: Readings in Cross-Cultutural Aesthetics. Garden City, New York: The Natural History Press.

Osborne, Harold. 1970. Aesthetic and Art Theory: An Historical Introduction. New York: A Datton Paperbook.

Piliang, Yasraf Amir. 2002.. ”Prolog: Seni, Nation-state, Identitas, dan Tantangan Budaya Global.” Dalam Jurnal: Identitas dan Budaya Massa: Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia”. Yogyakarta: Yayasan Cemeti. Hlm. 7-21.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2006. “Seni dan Muzik: Identiti Bangsa dalam Perubahan dan Kesinambungan Budaya”. Penelitian Arus Perdana. Kementerian Pendidikan Tinggi, Malaysia. Universiti Pendidikan Sultan Idris (Tidak Dipublikasikan)

---------------------------------------- 2007. ”Potensi, Posisi, dan Peranan Pelukis Wanita di Malaysia dan Indonesia.” Penelitian Kerjasama Upsi Malaysia dengan Unnes, ITB, UM, dan Unesa di Indonesia. Universiti Pendidikan Sultan Idris (Tidak Dipublikasikan)

----------------------------------------. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung:STISI Press.

Parsons, Talcott. 1961. The Social System. New York: The Free Press.

Rapoport, A. 1969. House Form and Culture. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.

Read, H. 1970. Education through Art. London: Faber and Faber.

Setiawan Sabana, 2002. Sipiritualisme dalam Seni Rupa Kontemporer Asia Tenggara (Kajian Kasus Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina). Tesis Doktor. Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Bandung.

Simbolon, Parakitri T. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Spindler, . 1977. Culture Change and Modernization: Mini Models and Case Studies. Illinois: Haveland Press, Inc.

Spradley, J.P. (ed.). 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. Toronto: Chandler Publishing Co.

Suparlan, Parsudi. 1985. “Kebudayaan dan Pembangunan”. Makalah dalam Seminar Kependudukan dan Pembangunan. Jakarta: KLH.

-----------------------------. 1985. ”Pembangunan Kebudayaan Individu dan Masyarakat”.

Makalah dalam Diskusi Konsepsi Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, N.U.

Susilo, Taufik Adi. 2009. Indonesia vs Malaysia: Membandingkan Peta Kekuatan Indonesia & Malaysia. Yogyakarta: Penerbit Garasi.

Wallace, A. 1950. “Overview of Elements in The Scientific Process”. Dalam: The Logic of Science in Sociology. Chicago: Aidine-Altherton.

Wuthnow, R. dkk. 1984. Cultural Analysis: The Work of Peter L. Berger, Mary Douglas, Michel Focoult, and Jurgen Hubermas. Boston: Routledge & Kegan Paul.

No comments:

Post a Comment