Tuesday 6 October 2009

MENANGGAPI SERANGAN IKON-IKON GLOBAL

Oleh

JEAN COUTEAU

Dosen Luar Biasa ISI DENPASAR, Senior Editor Majalah C-Arts


Di dalam kesenian kontemporer representasi ikonis semakin dominan. Bukan lagi pengalaman obyektif atau subyektif dari seniman yang dijadikan topik utama ekspresi seniman muda, melainkan olahan-olahan mereka atas imej-imej (ikon) mediatik, yaitu atas imej baku yang bersirkulasi di media modern.

Inilah beberapa contoh dari representasi ikonis tersebut:

-Obama, Mao-Tse-tung, Che Guevara, Perang Irak, boot dll, sebagai ikon-ikon politik;

-Dalai Lama, Ibu Teresa, Salib, jilbab sebagai ikon religius;

-Mohamad Ali, Beatles, MarilynMonroe dll sebagai ikon “people”.

-Jocunda, The Last Super; Le Dejeuner sur l’Herbe, Karya Warhol, De Kooning, Bacon dll sebagai ikon “seni lukis”

-Mickey, Manga, Batman, Tintin dll sebagai ikon dari dunia komik.

-Coca-coal, KFC, mobil, beha dll sebagai ikon dunia konsumsi modern.

-Bendera Amerika, Panda, dll sebagai ikon yang mewakili negara.

-Graffiti, untuk mewakili (pseudo)kebebasan ekspresi dll.

Pendeknya ikon-ikon kini menginvasi dunia seni.

Adapun medianya bermacam-macam pula: lukisan, patung, instalasi, video art dll.

Dominasi referen ikonik mediatik atas produksi seni kontemporer di atas adalah pertanda dan sekaligus refleksi dari suatu perubahan drastis yang tengah terjadi pada konstruksi identitas kita semua. Kita sebagai “subjek” kini kian dibentuk identitasnya oleh sistem sosio-ekonomi, sistem nilai dan sistem simbol kapitalistis yang kian bersifat global. Di dalam sistem itu unsur-unsur kapitalistis mediatik supra-lokal semakin mengemuka dan unsur-unsur lokal (pra-kapitalistis, agraris) semakin minor perannya. Sarana “ideologis” utama dari dinamika integratif ini adalah media-media modern, yang menguasai secara semakin menyeluruh dan mendalam ruang komunikasi sosial serta memaksakan pada “otak” kita ikon-ikon referensial yang berfungsi menopang dan melegitimasikan sistem kapitalis dimaksud. Akibatnya otonomi “subjek” kian terkikis dan individu-individu cenderung menjadi “konformis” (terlampau patuh pada norma-norma) dan/atau kehilangan patokan-patokan – hal mana disusul juga oleh pathologi sosial tertentu-, karena kesulitan mereka menjadi pelaku yang sebenarnya dari sistem kapitalis global itu. Alienasi mengemuka. Sejak Debord dan “Société du Spectacle” (Show Society), Foucault dan “episteme” zaman, serta Beaudrillard dan hyper-realitanya, fenomena-fenomena ini mulai dikenal dengan baik.

Bagaimana posisi para seniman di tengah perubahan ini. Mereka tidak luput dari ciri dasarnya. Memori visual simbolik mereka kian dibentuk oleh kapitalisme “mediatik” global di atas. Dunia simbolik mereka turut tertransformasi pula, baik secara sadar maupun tidak sadar: unsur referensial lokal kian surut. Unsur referensial supra-lokal kian mengemuka. Akibatnya pada seni adalah dominasi dari ikon-ikon global dalam representasi yang ditawarkan seniman.

Namun cara menanggapi fenomena ini berbeda menurut seniman:

*Bila kompleksitas permasalahan tidak disadari atau disalahtanggapi, seniman yang bersangkutan menjadi tak lebih dari estafet dari perluasan dominasi sistem kapitalistis “mediatik” global ini. Figur-figur ikonik yang ditampilkan dalam karya mereka turut menjadi sarana alienasi “mediatik”, kendatipun boleh jadi melambangkan perlawanan (misalnya Che Guevara atau Mao). Sayangnya posisi “tak sadar” atau “kurang sadar” ini adalah posisi yang umum bagi kebanyakan seniman Indonesia maupun Bali pada saat ini. Mereka tak lebih daripada “ikut-ikutan” membuat gambar-gambar Batman, Mickey, pseudo-Warhol, Perang Irak dll, tanpa mempertanyakan apa-apa atau dan bahkan tanpa menyadari ada yang harus dipertanyakan. Alih-alih membawa obor pencerahan, mereka mereka malah menjadi sarana dominasi ideologis dan pembodohan.

*Sebaliknya bila kuasa sistem kapitalistis mediatik di atas disadari oleh seniman, dengan sendirinya kemungkinan-kemungkinan baru terbuka. Dengan memplintir ikon tertentu atau memperhadapkan ikon yang satu dengan ikon yang lain atau dengan unsur relevan lainnya, lahirlah makna atau petanyaan yang baru. “Trik-trik” terkait, yaitu simulakrum, parodi, paradoks dll sesungguhnya bukanlah hal yang baru, dan dikenal sejak zaman Duchamp dan kaum Dada, hampir seratus tahun yang lalu. Ketika Duchamp menggambarkan kumis pada reproduksi lukisan La Joconde/Jocunda dari Leonardo da Vinci, bacaan atas karya itu serta-merta berubah. Lahirlah juga suatu cara berkesenian yang berbeda”, yaitu kesenian yang mengintervensi dunia sosial..

Kini sistem “permainan” ikonik yang diprakarsai Duchamp sudah menyeluruh dan menjadi salah satu cara yang paling efisien, melalui paradoks-paradoks visual yang dilahirkannya, untuk membuka mata kita terhadap aneka masalah ekonomi, sosial, politik, religius dan kultural yang mengemuka pada masa ini. Jadi terbukalah ruang kesadaran baru terhadap aneka determinasi yang membebani kita – dan dengan sendirinya terbukalah ruang kebebasan yang lebih luas, dan berkurangnya gejala alienasi.

Di Bali, pada hemat saya, karya ikonik kontemporer mutakhir yang paling mencerahkan adalah “Breast Burgernya” Nyoman Erawan yang dibuat tahun yang lalu pada kesempatan ke-50tahun meninggalnya pelukis Le Mayeur --yang menjadi terkenal karena model berdada telanjang bernama Ni Pollok itu. Dengan membuat “burger” (ikon global) menyerupai payudara wanita, yang lalu dimakan “turis”, Nyoman menelanjangi ambiguitas pariwisata Bali. Contoh yang lain: di Jawa, ikon “David”nya Michelangelo dipakai oleh Titarubi untuk mempertanyakan konstruksi sosial atas tubuh. Tentu saja terdapat banyak karya mencerahkan serupa lainnya yang tidak sempat disebut di sini.

Tetapi untuk memaknai ikon-ikon mediadik secara kreatif dan dengan demikian turut menjadikan budaya lokal (berikut senimannya) bagian intrisik dari budaya global yang tengah muncul, dua hal dibutuhkan:

1/ Pertama dibutuhkan pengetahuan umum yang jauh melampaui teknik teknik seni rupa, meliputi: filsafat, sejarah umum, sejarah pemikiran dan sejarah sosial, sosiologi, psikologi dll. Yang sesungguhnya dibutuhkan adalah segala jenis pengetahuan yang dapat menambah pemahaman seniman atas fenomena ikonis dan latar-belakang sosio-politiknya dalam kapitalisme mediatik modern itu. Untuk mengangkat dalam karya seni paradoks-paradoks yang hadir dalam globalisasi, tentu saja harus memahami globalisasi tersebut!

DI SINI SAYA BERTANYA: Apakah lembaga pendidikan kesenian Indonesia siap memperluas kurikulumnya seperti dianjurkan di atas demi mempersenjatai calon seniman dan seniman muda untuk menghadapi globalisasi.

2/ Kedua, dibutuhkan suatu pengetahuan kultural lokal yang memadai. Tak ayal salah satu cara untuk melampaui alienasi yang terbawakan globalisasi ialah dengan mengangkat kembali dalam bidang seni aneka unsur kultural yang bersifat lokal. Jadi, bila kita betul-betul inginkan seniman lokal menjadi pelaku penuh dari sistem kesenian global yang tengah dibangun, tidak ada pilihan lain selain membuat mereka mengacu, secara “modern nan kontemporer”, pada korpus simbol yang merupakan warisan kebudayaan mereka? Tetapi, perihal ini, tidak cukup-lah berbicara tentang “tradisi” atau “kebesaran budaya bangsa”, tidak cukup mengacu pada “budaya lokal”, harus betul-betul mempelajarinya, dalam teknik, sastra, simbol, dan filsafatnya.

TETAPI DI SINI SAYA BERTANYA: Apakah hal ini memang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan seni? Bukankah, di Bali, seni rupa tradisional telah sejauh ini “gagal” dipertemukan dengan kemodernan.

Singkatnya, bila seniman Indonesia dan Bali pada khususnya betul-betul ingin menjadi pelaku penuh dalam dunia seni global mendatang, mereka harus, selain rasa, mempunyai “pengetahuan” luas atas dua kutub: 1/ kutub kapitalistis global, berikut sarana mediatiknya, yang perlu disadari kompleksitasnya demi menemukan ruang intervensi simbolis; dan 2/ kubub lokal, dengan warisan literer, filsafati dan simbolik, yang hendaknya menyediakan “bahan” untuk melakukan intervensi tersebut. Hanya dengan ini seni akan betul betul mampu menjadi sarana perluasan ruang kesadaran dan kebebasan.

Itulah yang kami harapkan.




1 comment: