Thursday 8 October 2009

WAYANG GOLEK PURWA: FENOMENA SENI NUSANTARA LAMA YANG MASIH BERTAHAN HIDUP

Oleh JAJANG SURYANA

Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha blog http://rupasenirupa.blogspot.com e-mail jesuryana@gmail.com, jepeeser@gmail.com, jesuryana@ymail.com

ABSTRAK

Banyak karya seni yang disikapi dengan cara penikmatan yang kurang proporsional. Salah satu di antaranya adalah seni wayang. Wayang sebagai bentuk boneka (berbahan kulit maupun kayu bulat torak) dan gambar, belum ditempatkan sebagai karya seni rupa yang memerlukan cara penikmatan khusus. Bahkan, keberadaannya tidak lebih hanya sebagai pelengkap pertunjukan semata. Seorang juru wayang, pembuat wayang, keberadaannya tidak pernah ada yang dianggap sebagai seniman. Wayang, sebagai boneka pertunjukan, cenderung dilebur ke dalam cerita, hanya sebagai pelengkap cerita.

Boneka wayang belum menjadi karya seni rupa mandiri yang dinikmati utuh sebagai karya. Padahal, bentuk, warna-warni, postur, asesoris, dan segala macam yang melangkapi keberadaan boneka wayang, memilik arti yang sangat dalam. Semuanya adalah buah pemikiran yang mendalam dari sejumlah pemikir, pendisain, ataupun perupa bentuk wayang, jauh sejak masa Nusantara Lama.

Menyikapi boneka wayang secara proporsional, akan melahirkan objek penikmatan baru yang memperkaya khasanah karya seni rupa. Apapun bentuk fisiknya, rautnya, boneka wayang adalah karya seni rupa mandiri yang memerlukan cara penikmatan khusus. Cara panikmatan itu melalui cara-kaji rautnya, sebagai bahan ajar, yang menggambarkan karakter tokoh tertentu, warna-warninya yang simbolis, posturnya, maupun asesoris yang melengkapinya.

Kata-kata kunci: wayang, boneka wayang, karya mandiri, cara penikmatan

PENGANTAR

Wayang telah menjadi milik masyarakat Nusantara. Wayang sebagai cerita, wayang sebagai pertunjukan, wayang sebagai tokoh cerita, adalah wayang yang telah sangat akrab dalam lingkungan masyarakat Nusantara. Sayang, wayang sebagai karya seni rupa belum banyak mendapat perhatian khusus dari para penikmat seni rupa.

Secara singkat, khusus tentang keberadaan wayang golek, tokoh yang berperan dalam penciptaan bentuknya, serta beberapa peristiwa penting yang perlu menjadi catatan tentangnya, dibahas dalam tulisan ini secara lebih sungguh-sungguh.

Fenomena “boneka wayang” sebagai karya seni rupa (wayang golek, wayang klithik, maupun wayang kulit), tidak banyak mendapat perhatian para pengkaji seni rupa. Nasibnya hampir sama dengan benda-benda produk seperti alat-alat musik (gitar, biola, piano, drum, alat-alat musik tiup, dst), alat-alat produksi dan reproduksi foto (kamera, scanner, printer, plotter), ataupun alat-alat produksi dan reproduksi film movie (cam-corder, komputer). Semua alat tersebut hanya dipandang sebagai alat semata. Benda-benda tersebut tidak pernah menjadi benda “mandiri” sebagai karya yang pantas dibahas dan dipamerkan sebagaimana karya seni patung, seni lukis, desain, atau seni kriya. Mereka hanya alat. Sekali lagi, hanya alat. Sehingga kebentukannya, keindahan proporsinya, fungsionalisasi hasil rancangannya, maupun nilai-nilai nonvisual yang terkandung di dalamnya, kurang mendapat tempat dalam pembahasan-penghargaan sebagai karya seni.

Khusus tentang “boneka wayang” yang selama ini hanya diperlakukan sebagai “boneka” pelengkap pertunjukan cerita, sudah sejak lama meninggalkan banyak jejak senimannya, tetapi keberadaan senimannya tidak dikenal oleh masyarakat seni. Memang, banyak dalang mumpuni yang sekaligus juga menjadi pewayang (pembuat boneka wayang), tetapi keberadaannya sebagai pewayang tidak pernah muncul di permukaan.

BATASAN ISTILAH

Wayang bisa berarti cerita. Wayang adalah pertunjukan. Wayang juga adalah peraga (tokoh) dalam cerita. Orang bisa berkata: "Saya suka membaca wayang (cerita); Saya senang mendengarkan wayang (cerita radio); Saya kerap menonton wayang (pertunjukan langsung maupun pada layar kaca); Saya terkesan dengan wayang Gatot Kaca (tokoh cerita).

Wayang, seperti kata para ahli, adalah bayangan. Kalau istilah tersebut diartikan secara terbatas, sebagaimana wujud wayang kulit, pengertian tersebut menjadi tidak lengkap. Wayang bukan sekadar bayangan dalam kelir. Wayang adalah bayangan tentang kehidupan manusia, gambaran kehidupan manusia.

Beberapa batasan tentang pengertian wayang akan dikemukakan dalam bahasan berikut ini. Ismunandar (1988: 9) menyebutkan bahwa kata wayang berasal dari bahasa Jawa krama ngoko yang berarti perwajahan. Kemudian dijelaskan, perwajahan tersebut terdiri atas barang (juga yang lainnya) yang terkena cahaya (penerangan). Mertosedono (1990: 8) mengutip dari Bausastra Jawa, bahwa wayang terbuat dari bahan kulit, menceritakan peranan orang Jawa zaman dahulu; benda tersebut disebut wayang karena dapat dilihat bayangannya pada kelir. Ismunandar maupun Mertosedono menunjuk wayang kulit.

Masih banyak bentuk dan jenis wayang lainnya, seperti Wayang Beber (berupa gambar pada lembaran kulit maupun kertas gulung), Wayang Golek (boneka trimatra dari bahan kayu bulat torak), Wayang Wong (diperankan oleh manusia penari), dan Wayang Klithik (terbuat dari bahan kayu pipih yang dilengkapi bahan kulit tebal sebagai bagian lengan), yang dinikmati bukan bayangannya.

Sagio dan Samsugi (1991: 4) membatasi pengertian wayang secara lebih lengkap. Istilah bayangan bukan sekadar bayangan pada kelir, melainkan bayangan yang dibentuk dalam angan-angan tentang perilaku nenek moyang atau orang terdahulu. Secara pasti, pengertian tersebut bisa merangkum jenis-jenis wayang lain yang penikmatannya tanpa memerlukan media kelir.

"Pengertian wayang secara luas bisa mengandung makna gambar (penikmatannya hanya mungkin dari arah muka), boneka tiruan manusia yang terbuat dari kulit, kardus, seng, mungkin kaca-serat (fibre-glass), atau bahan dwimatra lainnya, dan dari kayu pipih atau pun bulat torak (bisa dinikmati dari beberapa arah), juga pemain sandiwara, penari. Batasan tersebut mungkin masih akan terus berubah sejalan dengan perkembangan kreativitas para juru wayang" (Jajang, 1995: 55-56).

Untuk melihat jenis wayang, cerita (bahasa), bahan pembuatan, dan cara penikmatannya, bisa dilihat lebih lengkap pada TABEL 1.

TABEL 1

JENIS WAYANG, CERITA (BAHASA), BAHAN PEMBUATAN,

DAN CARA PENIKMATANNYA


NO.

JENIS WAYANG

CERITA (BAHASA)

BAHAN PEMBUATAN

CARA PENIKMATAN

1.

Wayang Beber

Kisah-kisah Panji (Jawa)

Kertas, kulit gulungan

Satu arah, seperti menikmati gambar

2.

Wayang Gedog

Kisah-kisah Panji (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

3.

Wayang Gambuh

Kisah-kisah Panji (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

4.

Wayang Klithik

Kisah Panji (Jawa)

Kayu pipih dan kulit

Satu arah, tanpa kelir

5.

Wayang Cupak

Bagian Kisah Panji (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

6.

Wayang Ramayana

Ramayana (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

7.

Wayang Purwa

Ramayana-Mahabharata (Jawa-Sunda)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

8.

Wayang Betawi

Ramayana-Mahabharata (Betawi)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

9.

Wayang Banjar

Ramayana-Mahabharata (Banjar)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

10.

Wayang Palembang

Ramayana-Mahabharata (Palembang)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

11.

Wayang Golek Purwa

Ramayana-Mahabharata (Jawa-Sunda)

Kayu bulat torak

Dari beberapa arah, tanpa kelir

12.

Wayang Orang

Ramayana-Mahabharata (Jawa-Sunda)

-

Dari beberapa arah, tanpa kelir

13.

Wayang Jemblung

Ramayana-Mahabharata (Jawa)

-

Dari beberapa arah, tanpa kelir

14.

Wayang Parwa

Mahabharata (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

15.

Wayang Dobel

Kisah-kisah Islam (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

16.

Wayang Kulit Menak

Kisah Amir Hamzah (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

17.

Wayang Sasak

Kisah Amir Hamzah (Sasak)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

18.

Wayang Golek Cepak (Papak)

Kisah Raja Menak dan Babad Tanah Jawi

(Jawa-Sunda)

Kayu bulat torak

Dari beberapa arah, tanpa kelir

19.

Wayang Golek Menak

Kisah Amir Hamzah (Jawa)

Kayu bulat torak

Dari beberapa arah, tanpa kelir

20.

Wayang Topeng (penari)

Ramayana dan Mahabharata (Sunda)

-

Dari beberapa arah, tanpa kelir

21.

Wayang Wahyu

Kisah0kisah Injil (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

22.

Wayang Pakuan

Babad Pasundan (Sunda)

Kayu bulat torak

Dari beberapa arah, tanpa kelir

23.

Wayang Dupara

Babad Mataram II (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

24.

Wayang Madya

Kisah Sesudah Zaman Purwa (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

25.

Wayang Dangkluk

Kisah Galuh-Daha (Bali)

Kayu

Dari beberapa arah: wayang dalam gantungam

26.

Wayang Langendria (penari)

Kisah Damar wulan (Jawa)

-

Dari beberapa arah, tanpa kelir

27.

Wayang Calonarang

Kisah Zaman Airlangga (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

28.

Wayang Jawa

Cerita Diponegoro (Jawa)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

29.

Wayang Babad

Cerita Semi Sejarah: Babad (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

30.

Wayang Tantri

Cerita Manusia dan Binatang (Bali)

Kulit

Satu arah: bayangan pada kelir

31.

Wayang Arja

Cerita Arja (Bali)

-

Dari beberapa arah, tanpa kelir

32.

Wayang Lemah

Fragmen Mahabharata (Bali)

Kulit

Satu arah, tanpa kelir

33.

Wayang Golek Gede

Cerita Gajah Mada (Bali)

Kayu bulat torak

Dari beberapa arah, tanpa kelir

34.

Wayang Chenk Blong

Kulit

Satu arah, bayangan pada kelir

Dikumpulkan dari Guritno (1988: 14-15); Ismunandar (1988: 9); Mertosedono (1990: 32-42); Sagio dan Samsugi (1991: 10-12, 140-146); Soekanto (1992); dan Bali Post (27-10-1996; 28-10-1996; dan 4-11-1996)

WAYANG, WAYANG GOLEK, WAYANG GOLEK PURWA

Wayang

Wayang, sebagai "boneka" atau peraga cerita dalam pertunjukan, banyak jenisnya. Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, seperti disebutkan oleh Guritno (dalam Ismunandar, 1988: 62) ada sekitar 40 jenis wayang. Setengah di antaranya telah punah. Sebagian masih "hidup" dalam lingkungan masyarakat yang sangat terbatas. Sisanya, beberapa jenis masih bisa bertahan sebagai alat hiburan dan pendidikan yang didukung oleh masyarakat pencintanya. Bahkan, jenis wayang kulit purwa dan wayang golek purwa, terus-menerus diolah hingga menghasilkan tampilan, gaya, dan model yang bisa bersesuaian dengan keperluan masyarakat masa kini.

Wayang kulit, terutama wayang kulit purwa, merupakan salah satu jenis wayang ciptaan masa lalu yang bisa bertahan hidup dan tetap memiliki masyarakat pendukung hingga masa kini. Wayang jenis ini bisa kita temukan di daerah-daerah Jawa (terutama), Sumatera (Palembang), Kalimantan (Banjar), Bali, dan Lombok. Wayang kulit purwa berlatar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata. Di samping itu, ada juga jenis wayang kulit lain yang berlatar belakang cerita panji, babad, sejarah, semi sejarah, maupun kisah agama.

Jenis-jenis wayang ciptaan baru selalu muncul karena hasil kerja sama antara para juru wayang (pembuata wayang) dengan dalang atau pun dengan pelindung seni, seperti petugas pemerintahan. Hasil penelitian menunjukkan: ada juru wayang yang menciptakan jenis wayang baru, ada juga dalang yang memberi inspirasi kepada juru wayang untuk mengembangkan bentuk wayang baru, atau juga pengayom seni yang meminta kepada juru wayang dan dalang untuk menghadirkan jenis wayang dan jenis pertunjukan baru (Jajang, 1995: xxii-xxiii; 74-81).

Munculnya jenis wayang beber (tiruan relief pada candi, untuk keperluan pengajaran yang praktis, pengganti isi relief), jenis wayang kulit binatang, jenis wayang golek, jenis wayang klithik, jenis wayang wong, maupun jenis wayang langendria, adalah hasil ciptaan yang tak pernah berhenti berubah. Pemunculan jenis-jenis wayang baru, pada setiap masa, tidak menurunkan mutu cerita wayang maupun isi sampaian filsafat hidup dalam setiap pertunjukan. Perubahan pokok cerita yang merupakan gambaran keberanian para pengolah wayang, yaitu cerita selain Ramayana dan Mahabharata, turut memperkaya perbendaharaan cerita wayang.

Sesuai dengan munculnya jenis wayang baru, juga sejalan dengan kemajuan zaman, perubahan cara mempertunjukkan wayang pun selalu berubah. Ketika wayang berupa gambar dwimatra, wayang beber, cara mempertunjukkannya dengan jalan membeberkan gulungan gambar satu adegan demi satu adegan. Pada jenis wayang kulit yang memerlukan cempor atau blencong, dan kelir, pertunjukan wayang harus malam hari. Cempor pun kerap berubah, meskipun fungsi cempor sebagai penerang atau pembentuk bayangan pada kelir tidak berubah: dari cempor minyak kelapa, cempor minyak tanah, lampu sorot, sampai lampu warna-warni. Cara mempertunjukkan pun berubah ketika muncul jenis wayang golek. Wayang trimatra ini bisa dipertunjukkan pada siang hari, tanpa memerlukan kelir dan blencong. Begitulah, dari pertunjukan langsung (live-show) semalam suntuk, pertunjukan lewat radio, lewat pita kaset, bahkan lewat televisi yang cenderung lebih pendek waktu tayangnya, adalah perubahan-perubahan yang menyertai perjalanan keberadaan wayang. Bahkan dengan berkembangnya dunia film animasi yang menyertakan pemrogramannya lewat komputer, boleh jadi animasi cerita wayang akan muncul juga suatu saat!

Wayang Golek

Lahirnya wayang golek adalah jawaban atas keinginan mempertunjukkan wayang pada siang hari (Jajang, 1995: 62). Istilah wayang golek, pada awalnya muncul dari sebutan terhadap boneka yang selalu dihadirkan pada setiap akhir pertunjukan wayang kulit purwa. Boneka ini dimainkan sebagai penutup acara yang maksudnya untuk mengajak penonton nggoleki, mencari makna isi pertunjukan yang telah ditampilkan oleh dalang (Amir, 1991: 79; Wibisono, 1974: 82). Dari kata nggoleki itulah muncul sebutan wayang golek. Wayang golek awal ini, sebetulnya hanyalah sebuah boneka kayu yang sama sekali bukan tokoh cerita. Ia hanya sebuah boneka berbentuk model wanita, tidak menunjuk kepada salah satu tokoh dalam cerita Ramayana maupun Mahabharata (Yudoseputro, 1994).

Wayang golek pertunjukan yang pertama, bukan wayang golek pelengkap tadi, seperti disebutkan oleh Ismunandar (1988: 69), diciptakan oleh Sunan Kudus. Wayang tersebut dipentaskan dengan cerita Wong Agung Menak. Wayang jenis ini kini dikenal dengan sebutan wayang menak atau wayang golek menak. Pertunjukan pertama jenis wayang ini tercatat pada awal abad ke-16.

Wayang golek menak berlatar belakang cerita keislaman. Wong Agung Menak atau Amir Hamzah, ada juga yang menyebutnya Amir Ambiyah, adalah tokoh utama dalam cerita ini. Wayang golek yang sama, di Jawa Barat (Cirebon) dikenal dengan sebutan Wayang Cepak atau Wayang Papak. Di kawasan Cirebon, wayang jenis ini masih dipertunjukkan hingga masa kini.

Wayang Golek Purwa

Wayang golek purwa adalah sebutan untuk wayang golek yang berlatar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata. Wayang golek inilah yang hingga kini masih bertahan hidup serta tetap mendapat dukungan masyarakat pencintanya. Bahkan, karena ketekunan dan kreativitas dalangnya, pertunjukan wayang ini bisa menjadi kecintaan para peminatnya.

Seperti wayang kulit purwa, wayang golek purwa dipentaskan dengan cerita babon Ramayana dan Mahabharata. Cerita-cerita pakem ditampilkan dengan menggunakan campuran bahasa Jawa dan Sunda. Bahasa Jawa digunakan dalam menyampaikan bubuka, bagian pendahuluan, maupun pada pengantar babak per babak. Selebihnya, para dalang menggunakan bahasa Sunda. Di samping cerita pakem, para dalang mengarang cerita sendiri, yang disebut cerita carangan. Cerita karangan dalang ini tidak lepas dari pokok cerita utama, yaitu cerita Ramayana atau Mahabharata. Wayang golek purwa bisa dipertunjukkan pada malam hari maupun pada siang hari. Menikmati pertunjukan jenis wayang ini bisa lebih alami karena sifat bonekanya yang trimatra. Gerak tokoh wayang bisa ternikmati secara utuh pada ruang panggung.

Di samping wayang golek purwa, di Jawa Barat pernah muncul wayang golek yang berlatar belakang cerita Pasundan. Jenis golek ini disebut wayang golek pakuan. Cerita yang disampaikan dalam pertunjukan adalah cerita Lutung Kasarung, Sangkuriang, dan cerita daerah Sunda lainnya. Tokoh-tokoh wayang yang digunakan dalam pertunjukan adalah tokoh-tokoh baru --bukan tokoh cerita Ramayana dan Mahabharata-- sesuai dengan cerita yang dibawakan. Tetapi, wayang jenis ini, kini tidak berkembang seperti wayang golek purwa. Di Bali, muncul pula jenis wayang golek yang berunsur cerita tentang Patih Gajah Mada. Wayang ini disebut wayang golek gede, karena ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan wayang golek pada umumnya. Tinggi wayang ini sekitar satu meter setengah. Masing-masing tokohnya dimainkan oleh seorang dalang.

Perubahan atau pengayaan jenis dan bentuk wayang terus berlangsung. Bila ditinjau dari sisi waktu, wayang adalah merupakan jenis kesenian masa lalu dan masa sekarang. Wayang tetap awet. Berbagai generasi masyarakat pendukungnya berubah-ubah, wayang tetap dipertahankan. Bahkan, pengolahan jenis, bentuk, dan pokok ceritanya terus dilakukan. Jarang ada jenis kesenian yang bisa bertahan seperti wayang ini. Fungsi cerita wayang sebagai tuntunan dan tontonan ternyata bisa menjadi benang merah yang mengikat antara jenis kesenian ini dengan pencintanya pada berbagai masa.[]

SEKILAS SEJARAH WAYANG GOLEK PURWA

Seperti telah disebutkan, wayang golek purwa adalah jenis wayang golek dengan latar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata. Latar belakang cerita, sudah pasti, menjadi pengikat kesamaan tokoh-tokoh cerita wayang. Wayang kulit purwa, misalnya, sama dengan wayang golek purwa. Yang membedakan keduanya adalah jenis wayang yang digunakan untuk memperagakan lakon, juga cara menampilkannya.

Wayang golek purwa adalah wayang trimatra. Jenis wayang ini bisa disebut secara tepat sebagai boneka untuk mempertunjukkan lakon. Karena bentuknya yang trimatra, wayang ini bisa dinikmati dari beberapa arah. Cara mempertunjukkannya tidak memerlukan kelir sebagaimana dalam pertunjukan wayang kulit. Oleh karena itu, gerak tokoh lakon ketika boneka ini dipertunjukkan oleh dalang, terlihat lebih nyata, karena boneka ini merupakan bentuk tiruan manusia (ikonografi).

Kehadiran wayang golek purwa sudah cukup lama. Berawal ketika Dalem Karang Anyar, Wiranata Koesoemah III, pada masa akhir jabatannya sebagai Bupati Kabupaten Bandung tahun 1840, memerintahkan kepada Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Pekalongan, untuk mencipta wayang purwa jenis baru. Wayang purwa baru usulan sang Bupati adalah jenis wayang yang terbuat dari bahan kayu bulat torak: wayang golek purwa.

Ki Darman, terpengaruh oleh kebiasaannya dalam membuat wayang kulit, mencipta wayang golek baru ini berbentuk bulat gepeng. Golek pertama buatan Ki Darman tidak disetujui oleh Wiranata Koesoemah III. Dalem Karang Anyar ini ingin mendapatkan sebuah model boneka golek yang membulat. Oleh karena itu, Ki Darman yang telah lama menetap di kawasan Cibiru, Kabupaten Bandung ini, terus mencari bentuk lain yang lebih mendekati keinginan Bupati. Dari hasil perpaduan antara gagasan pengayom seni, Dalem Karang Anyar, dengan pekerja seni, Ki Darman, lahirlah bentuk boneka wayang baru dengan latar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata, yang bulat torak seperti bentuk boneka golek yang ada sekarang.

Cibiru telah menjadi pusat pembuatan wayang golek purwa. Ki Darman beserta keluarganya terus mengembangkan kegiatan pembuatan golek ini. Hingga kini, keturunan Ki Darman masih tetap meneruskan kegiatannya. Di samping itu, Ki Darman memiliki sejumlah murid yang datang dari daerah lain di Jawa Barat. Seperti dari Lebak, Bogor, Sukabumi, Padalarang, Garut, dan Ciamis. Murid-murid Ki Darman, setelah selesai berguru, melanjutkan kegiatan pembuatan wayang golek di tempat tinggal asalnya masing-masing. Oleh karena itu, wayang golek gaya Cibiru, atau biasa juga disebut Cibiruan, terus tersebar ke pelosok daerah Jawa Barat.

Beberapa anggota keluarga keturunan Ki Darman yang masih aktif membuat wayang golek, ketika buku ini disusun, antara lain Ade Tatang Sukentar (Ciguruwik, Cibiru) putra juru golek Ki Eyet; Anang Permana Prijatna, keturunan Ki Eyet (Ujung Berung); serta Momod dan Hendi --putranya (Cimareme, Padalarang), keturunan Ki Sumarta juru golek terkenal asal Selacau, Batujajar. Juru golek lain yang cukup terkenal, tetapi bukan keturunan Ki Darman, beberapa orang di antaranya tinggal dan berkarya di lingkungan Cibiru, sekitar kota Bandung, dan beberapa orang lain tinggal di Jelekong, Kabupaten Bandung.

Pada pertumbuhannya wayang golek mengalami perubahan-perubahan. Awalnya, gaya Cibiru dengan segala kekhasannya, menjadi contohan untuk para juru golek yang ada di luar Cibiru. Oleh karena itu, selanjutnya muncul penyempurnaan-penyempurnaan, terutama pada bagian rautnya. Raut wayang golek Cibiruan yang cenderung kurang membulat, dengan hiasan yang lebih mengarah kepada warna prada, brom, atau kuning emas, dipadu dengan warna hitam dan hijau, dianggap perlu mendapat perubahan.

Muncullah wayang golek Cibiruan yang baru, yang berciri raut lebih membulat, dengan warna hiasan cenderung biru, biru muda, hijau, hijau muda, ungu, merah, dan kuning. M. Duyeh, seorang juru golek asal Cibiru, berdasarkan persetujuan dengan pengayom seni dan beberapa dalang, berhasil membuat raut baru wayang golek Cibiruan. Raut golek yang baru ini, akhirnya menjadi cikal bakal gaya Cibiru Baru.

Di samping gaya Cibiru Lama dan Cibiru Baru, muncul juga gaya lain yang merupakan tiruan dan hasil pengembangan baru dari gaya Cibiru. Di antaranya yang terkenal seperti wayang golek gaya Bandung dan Giriharja. Golek gaya Bandung tidak terlalu jauh berbeda dengan gaya Cibiru Baru. Sedangkan gaya Giriharja, di samping mengacu kepada gaya Cibiru Lama, juga menggali kembali hiasan yang terdapat pada wayang-wayang kulit yang lebih ramai, penuh ornamen. Konsep gaya Giriharja ini telah pula ditampilkan sebelumnya oleh Sulaeman Partadireja, yang menciptakan wayang golek Elung Bandung.

Sebelum tahun 1980-an, pertunjukan wayang golek purwa pernah mengalami masa sepi. Banyak dalang yang "menganggur" karena tidak pernah mendapat panggilan main. Masyarakat Jawa Barat, pendukung wayang golek purwa, kurang begitu peduli terhadap pertunjukan wayang. Ketidakpedulian masyarakat terhadap wayang golek menyulut semangat Abah Sunarya, seorang dalang sepuh sakaligus tokoh juru golek gaya Giriharja terkenal dari Jelekong, Kabupaten Bandung. Sunarya memacu kreativitas anak-anaknya yang juga sebagai dalang wayang golek purwa. Ade Kosasih Sunarya, dalang muda putera pertama dalang Sunarya, bisa menjawab "tantangan" ayahnya. Muncullah gaya pertunjukan baru yang sangat mengutamakan penampilan boneka golek, lewat sabetan (cara menampilkan atau "menghidupkan") wayang yang sejalan dengan kebutuhan kelompok penonton masa kini. Di samping sabetan, lelucon (kadang-kadang lebih banyak berupa kritikan) yang ditampilkan lewat tokoh-tokoh panakawan dan tokoh tambahan, merupakan bagian pertunjukan yang diandalkan.

Ade berhasil menciptakan tokoh-tokoh golek tambahan yang "luar biasa". Ada tokoh yang diberi alat tambahan seperti gitar, sehingga digambarkan bisa bermain musik modern. Ada tokoh yang bisa pecah kepalanya, memuntahkan mie goreng, mengeluarkan darah, dan mengeluarkan aji-aji kanuragan. Di samping itu, Ade bisa memainkan boneka golek secara lebih hidup. Keterampilan Ade dalam menghidupkan boneka golek, seperti gerakan menari jaipongan (tarian khas Jawa Barat); berkelahi gaya pesilat, pekungfu, dan pekarate; atau pun gerak lain yang lucu ditingkah cara berucap yang mengundang tawa, merupakan kelebihannya dalam mementaskan wayang golek.

Gaya pementasan Ade sangat menyentak para pemerhati wayang golek. Pertunjukan wayang golek kembali disukai para pendukungnya. Kelompok Giriharja II, kelompok dalang keluarga Sunarya, menjadi sumber tiruan gaya pertunjukan. Keberhasilan dalang Ade, disusul juga oleh kepiawaian dalang Asep Sunandar Sunarya, Lili Adi Sunarya, Iden Sunarya, dan dalang keluarga Sunarya yang lain, berhasil membangkitkan kecintaan masyarakat Jawa Barat kepada pertunjukan wayang golek. Para dalang bisa "hidup" kembali. Permintaan manggung terus mengalir. Hampir semua dalang wayang golek di Jawa Barat terimbas keberuntungan bangkitnya kembali kecintaan menanggap wayang.

Pola pertunjukan gaya Ade dan Asep menjadi tuntutan para penonton. Wayang golek merebak ke dunia rekaman. Pertunjukan di radio, kantor pemerintahan, kampus, sekolah, dan hotel, menjadi hal yang biasa. Bahkan, pertunjukan wayang golek di televisi, kemudian, menjadi hal yang sangat biasa. Penonton, terutama penonton muda yang pada awalnya emoh dengan pertunjukan wayang, menjadi masyarakat penonton baru yang mendukung keberadaan wayang golek.

Sifat pertunjukan yang lebih mengutamakan unsur lelucon, terutama untuk menampilkan kepiawaian dalang dalam mengolah sabetan dan wacana (tutur), menjadi kecenderungan baru. Kejutan-kejutan teknik sabetan yang diperkenalkan keluarga dalang Sunarya dari Giriharja II, memang telah menjadi acuan gaya pertunjukan yang disukai masyarakat penonton wayang golek. Cerita carangan semakin banyak diciptakan. Tokoh-tokoh tambahan yang bisa diolah oleh juru golek maupun dalang secara lebih bebas, terus bermunculan.

Pusat cerita, seperti yang dijelaskan oleh Elan Surawisastra (1995), tokoh dalang tiga zaman dari Gumuruh, Kotamadya Bandung, telah berubah. Pada masa penjajahan Belanda, tokoh sentral, khusus dalam cerita Mahabharata, adalah Arjuna. Pada masa perjuangan kemerdekaan, sejalan dengan semangat keponggawaan, yang menjadi tokoh utama pertunjukan wayang golek beralih ke Gatot Kaca. Sedangkan pada masa kini, masa modern, masa penuh gejolak ketidakpuasan, orang lebih senang menonton tokoh-tokoh dagelan. Para panakawan, khususnya tokoh Cepot, menjadi bahan olahan utama para dalang. Cerita berpusat pada tingkah, tutur, dan watak Cepot. Di samping itu, tokoh tambahan berupa buta (raksasa) yang aneh-aneh --bisa "menguap", muntah mie, menjulurkan lidah, dan lain-lain, menjadi kecenderungan lain yang kerap ditampilkan para dalang. Oleh karena itu, para juru golek pun banyak mengolah rupa tokoh-tokoh buta aneh tersebut. Tokoh Cepot, khususnya, banyak dijadikan cinderamata khusus.

Merebaknya pengembangan bidang pariwisata berpengaruh juga kepada penciptaan raut wayang golek yang baru, yaitu raut golek yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan warung-warung seni. Golek Cokelat adalah salah satu hasil penyesuaian raut wayang golek purwa dengan cara pewarnaan pada patung-patung kayu di Bali. Kemudian, Golek Batik yang terpengaruh oleh model hiasan pada kain batik. Motif hias pada bagian kepala golek digarap dengan cara menerapkan teknik menggambar motif batik, teknik cecek. Raut wajah wayang golek jenis ini ditampilkan seperti tiruan wajah manusia nyata. Hal ini sesuai dengan fungsi boneka yang hanya dijadikan sebagai hiasan belaka, bukan sebagai boneka golek pertunjukan.

Bentuk hasil garapan yang lain, juga karena untuk memenuhi keperluan hiasan, adalah Golek "Klasik". Istilah klasik diberi tanda petik karena mengacu kepada pengertian pasar, bukan pengertian sebenarnya, yaitu pengertian yang dibuat oleh para juru golek.Golek ini berraut seperti golek pertunjukan, tetapi penyelesaian akhir bagian-bagian hiasan dan warna tidak mengikuti pola hias dan warna golek pertunjukan. Boneka golek sama sekali tidak dicat warna-warni, melainkan ditonjolkan warna asli kayu yang dikilatkan. Sehingga bagian hiasan yang biasanya dikerjakan dengan teknik pewarnaan, lebih menonjol berupa hias toreh saja. Bahkan untuk hiasan tubuh (bagian dada dan lengan atas yang biasanya dilengkapi pakaian) mengandalkan torehan tanpa warna. Jenis golek ini, menurut pengakuan juru golek M. Duyeh, adalah golek hiasan yang paling banyak diminati oleh wisatawan asing.

Biasanya, golek hiasan, sesuai dengan fungsinya, dibuat berbeda dengan golek untuk pertunjukan. Perbedaan itu, terutama, tampak pada segi keterpakaian boneka tersebut. Boneka golek pertunjukan untuk dimainkan, digerakkan, dihidupkan sesuai dengan tuntutan cerita. Sedangkan boneka golek hiasan, segi keterpakaiannya cenderung tidak diperhatikan oleh pembuatnya. Oleh karena itu, mutu wayang golek pertunjukan lebih baik daripada golek hiasan. Misalnya, bisa kita lihat golek-golek hiasan yang banyak dipasarkan di warung-warung seni daerah Cipacing maupun Citatah, Kabupaten Bandung.

Tanjung Sari, Sumedang, merupakan salah satu pusat pembuatan golek hiasan ini. Tokoh golek yang paling banyak digarap sebagai boneka golek hiasan antara lain tokoh Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng, serta tokoh-tokoh tambahan berupa buta. Tokoh lain yang juga kerap menjadi pesanan sebagai golek hiasan adalah Rama dan Shinta, Arjuna dan Srikandi, juga Gatot Kaca.

WANDA DAN NILAI ESTETIS RAUT WAYANG GOLEK PURWA

Wanda

Wanda adalah istilah perwajahan atau raut khusus pada wayang.Tokoh-tokoh dalam cerita wayang yang memiliki wanda adalah tokoh yang populer atau disukai penonton, dan mempunyai banyak kisah sehingga sering ditampilkan. Sedangkan tokoh yang jarang ditampilkan, sehingga kurang dikenal, tidak memiliki raut khusus (Sagio dan Samsugi, 1991: 18; Widodo, 1990: 123).

Sebelum membahas masalah wanda secara lebih lengkap, perlu dijelaskan peristilahan yang sangat erat kaitannya dengan wanda, yaitu raut. Istilah raut (potongan, tampang, bentuk, rupa, bangun) digunakan di sini untuk menunjuk keadaan tubuh dan ciri-ciri tokoh cerita wayang, khususnya wayang golek.

Ada tiga istilah raut yang memiliki pengertian berbeda: raut peranan, raut tampang, dan raut wanda atau raut khusus (Jajang, 1995: 10-27). Kata raut digunakan untuk menunjuk segi rupa golek. Sebuah boneka golek secara umum memiliki dua sisi sebutan pada rautnya, yaitu raut peranan dan raut tampang. Raut peranan menggambarkan peranan tokoh golek: peranan sebagai satria, ponggawa, buta, dan panakawan. Misal, tokoh Arjuna peranannya sebagai satria; Gatot Kaca sebagai ponggawa; Arimba sebagai buta; dan Cepot sebagai panakawan. Di samping itu, raut peranan pun kadang-kadang menunjukkan peranan ganda, seperti tokoh Yudhistira berperan sebagai satria-raja; Duryudana sebagai ponggawa-raja; Arimbi sebagai buta-putri (raseksi); dan (dalam cerita carangan) Gareng sebagai panakawan-raja. Masih banyak lagi contoh peranan ganda tersebut, di antaranya satria-dewa, satria-pandita, satria-ponggawa, ponggawa-dewa, ponggawa-pandita, ponggawa-buta, dan buta-panakwan.

Raut tampang menggambarkan watak masing-masing tokoh. Seperti watak santun, pemarah, cergas, licik, patuh, pengabdi, pelucu, dan banyak lagi, Misalnya, tokoh Kresna memiliki raut-tampang satria-raja yang cergas; Bima ponggawa-satria yang jujur; dan Sangkuni satria-ponggawa yang culas. Oleh karena itu, raut tampang adalah raut peranan ditambah penanda khusus yang menggambarkan watak pribadi tokoh. Gatot Kaca dan Aswatama adalah satria-ponggawa, tetapi karena wataknya berbeda, pada wajahnya tampak perbedaan watak tersebut: warna wajah dan sikap kepala.

Raut wanda atau raut khusus hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh cerita wayang yang populer, sering ditampilkan dalam aneka cerita, dan memiliki pernanan penting dalam sebuah cerita. Raut wanda ini menunjukkan ciri khusus suasana hati, keadaan jasmani, atau keadaan lingkungan tokoh. Contohnya, tokoh golek Arjuna berwanda mangu (bingung); Gatot Kaca berwanda pengantin; dan Kresna berwanda duta. Wanda mengacu kepada kesesuaian tampilan tokoh dalam berbagai keadaan: sedang bingung, sebagai pengantin, sebagai duta, menghadapi perang, marah, siap terbang, dan menghadap raja.

Raut peranan, raut tampang, dan raut wanda menempati tingkatan kepentingan yang seimbang. Ketiganya dapat dinikmati secara utuh dalam tampilan golek (ketika boneka golek sedang dimainkan oleh dalang). Keutuhan penikmatan akan lebih terasa kalau ditunjang oleh unsur pelengkap tampilan golek, yaitu sabetan (gerak golek), gending dan kawih (musik nyanyian pengiring), serta antawacana (kualitas suara dan tatawicara yang sesuai dengan watak dan suasana tokoh cerita). Oleh karena itu, tampilan adalah sebuah susunan organis yang terdiri atas raut, sabetan, gending, kawih, dan antawacana.

Tokoh-tokoh penting seperti Kresna, Bima, Yudhistira, Arjuna, Gatot Kaca, Abimanyu, Abiyasa, Karna, Duryudana, Dorna, Sangkuni, Semar, Cepot, dan masih banyak lagi, masing-masing memiliki raut wanda yang berbeda-beda. Dalam cerita wayang kulit yang lengkap, tokoh-tokoh tertentu memiliki wanda lebih dari satu. Bima misalnya, memiliki tidak kurang dari 16 jenis wanda dan Arjuna 14 wanda (Widodo, 1990: 123). Semakin banyak wanda yang dimiliki oleh tokoh wayang tertentu, semakin banyak pula jumlah wayang dalam satu peti. Seperangkat wayang kulit yang lengkap bisa terdiri atas 200-350 buah. Bahkan, seperti dikemukakan oleh Guritno (1988: 42), pernah ditemukan wayang kulit yang berjumlah 650 buah dalam satu kotak yang lengkap, yang disebut wayang inten. Wayang golek yang lengkap dalam satu kotak terdiri atas 70-160 buah (Duyeh, 1994; Prijatna, 1994; Surawisastra, 1994; dan Sutardja, 1994).

Raut wanda pada dasarnya menunjukkan kesungguhan para juru wayang dalam mencipta raut, disesuaikan dengan keperluan untuk menampilkan cerita wayang secara lengkap. Pada wayang kulit, wanda bisa lebih lengkap, lebih banyak. Berbeda dengan pada wayang golek yang --menurut para juru golek-- lebih banyak berkaitan dengan urusan banyaknya peti yang akan dibawa oleh seorang dalang dalam setiap kali pertunjukan. Jika jumlah wayang golek sebanyak wayang kulit, berapa kotak golek yang harus dibawa oleh seorang dalang? Tetapi, ada juga yang menafsirkan hal tersebut dengan pendekatan yang lebih analitis. Wayang kulit bisa berjumlah lebih banyak dalam satu kotak, memiliki jumlah wanda yang banyak, sangat bertalian dengan ketekunan, kesungguhan para juru wayang kulit dalam melengkapi jumlah raut wayang. Ini bisa dimengerti, lingkungan juru wayang kulit adalah keraton, para juru wayang dijamin oleh raja (kini pemerintah, sultan). Lain halnya dengan lingkungan juru wayang golek yang berada di luar keraton, serta kegiatan pembuatan golek pun lebih bersifat sambilan.

Dalang wayang golek cenderung memiliki kebebasan dalam memperlakukan boneka golek. Misalnya dalam menampilkan tokoh-tokoh cerita. Boneka golek Gatot Kaca bisa saja digunakan untuk menampilkan tokoh Bambang Kaca, anaknya; boneka golek Arjuna bisa juga untuk menampilkan tokoh Rama Wijaya. Selama raut tampang tokoh tersebut masih dalam satu kelompok (kelompok satria, ponggawa, dan buta, misalnya), dan memiliki ciri tampang yang hampir sama, pertukaran tampang dalam tampilan (pertunjukan) bisa dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa para dalang wayang golek longgar dalam memegang pakem. Kelonggaran ikatan pakem tampak pula pada sikap para juru golek. Mereka tidak memiliki kesepakatan dalam menentukan pola hiasan golek, sehingga banyak boneka golek yang berraut tampang sama tetapi berbeda hiasan --dalam wayang kulit hal ini tidak akan ditemukan.

Pada wayang golek akan kita temukan persamaan unsur raut hanya pada bagian kepalanya. Seperti hasil penemuan pada penelitian raut wayang golek purwa di kawasan Bandung (Jajang, 1995), pengakuan para juru golek menunjukkan bahwa pakem pada pembuatan boneka golek tidak begitu ketat. Pakem raut peranan dan raut tampang tetap mereka pertahankan, tetapi akem hiasan merupakan hal agak diabaikan. Pakem tersebut bisa dilihat pada tabel pakem raut golek.

Dari hasil penelitian yang sama, ditemukan persetujuan para juru golek dalam menyebut nama jenis raut wanda. Nama jenis raut wanda pada tokoh wayang golek antara lain sebagai berikut: gehger, seba atau maruba, dan pamuk (tokoh Arimba); rentang, gondrong, dan madu (tokoh Arjuna); petor, merebu, dan pinandita (tokoh Baladewa); ngure, pamuk, dan seba (tokoh Bima); kunyuk dan gendeng (tokoh panakawan Cepot); jiklak, bandring, dan kalap (tokoh Dursasana); macan, seba, panganten, dan pijer (tokoh Gatot Kaca); kembang, maguron, dan merebu (tokoh Kresna); lober, marseba, dan gereng (tokoh Duryudana); dan mega, seba, dan kuncup (tokoh semar) [Jajang, 1995: 103-106].

TABEL 2 PAKEM RAUT GOLEK


GOLEK

1

SIKAP KEPALA

2

WARNA WAJAH

3

ALIS

4

MATA

5

HIDUNG

6

KUMIS

7

MULUT

8

HIASAN

SATRIA LUNGGUH

Tungkul

Bodas

Tulis, alit, ipis, satriaan

Sipit, jaitan, tulis,

gabahan

Alit, alit tungkul, mancrit

bangir, bangir

Tanpa kumis

Biasa, luwes, alit galing

heureut

(Kelat bahu, campaka ligar,

gelung ukel)***

SATRIA LADAK

TUMUNGKUL

Tungkul

Gading tulang, gading

ngora, kayas, ros, jambu

ngora

Tulis, alit, ipis, satriaan

Sipit, jaitan, tulis,

gabahan

Alit, alit tungkul, mancrit

bangir, bangir

Kumis tulis

Biasa, luwes, alit galing

lebar

(Kelat bahu, campaka ligar,

mahkota sekar kluwih) ***

SATRIA LADAK DANGAH

Dangah

Gading ngora, gading

tulang

Tulis, alit, ipis, satriaan

Sipit, jaitan, mancrit

bangir, bangir

Alit, alit tungkul, mancrit

bangir, bangir

Kumis tulis

Biasa, luwes, alit galing

lebar

(Kelat bahu, campaka ligar,

mahkota sekar kluwih)***

PONGGAWA ALIT

Tungkul

Ros, ros ngora, jambu

ngora, beureum ngora

Ponggawaan, ageung

tanpa rerengon

Kedondong, ageung

Bangir

Kumis tulis

Biasa, alit galing lebar

(Waderan, gajah nguling)***

PONGGAWA SEMBADA

Tungkul

Ros, jambu, beureum

Ponggawaan, ageung,

rerengon tulis

Kedondong, ageung

Bangir

Kumis turih

Biasa rada ageung

(Waderan, gajah nguling)***

PONGGAWA AGEUNG

Dangah

Beureum, beureum ati,

jambu rada kolot

Ponggawaan, ageung,

rerengon tulis

Kedondong, ageung

Bangir

Kumis turih

Biasa ageung, galing

lebar

(Waderan, gajah nguling)***

PONGGAWA BADAG

Tanggah

Beureum ati, beureum

cabe, jambu kolot

Ponggawaan, ageung,

rerengon turih

Kedondong, ageung

Bagnir

Kumis turih

Biasa ageung, sihungan

(Waderan, gajah nguling)***

BUTA BIASA

Dangah

Beureum

Ageung, rerengon turih

Molotot

Medang, panjang, gandul

Kumis turih

Gusen, sihung ranggeteng

-

BUTA GARANG

Tanggah

Beureum kolot

Ageung, rerengon turih

Molotot

Medang, panjang, gandul

Kumis turih

Gusen, sihung ranggeteng

-

PANAKAWAN: SEMAR

Dangah

Bodas

Tulis

Biasa, rembesan

Gendul

Tanpa kumis

Cameuh mesem

Kukuncungan

PANAKAWAN: CEPOT

Dangah

Beureum

Tilis

Peten

Gendul

Kumis tulis

Cameuh mesem

-

PANAKAWAN: DAWALA

Dangah

Beureum ngora

Ageung tulis

Peten juling

Panjang

Kumis tulis

Cadok

-

PANAKAWAN: GARENG

Tungkul

Gading

Tulis

Juling

Benguk

Kumis tulis

Gusen, mesem

-

Dikumpulkan dari: Ade Tatang Sukentar, Amung Sutardja, Anang Permana Prijatna, Elan Surawisastra, Eyet, Hendi, Iden Sunarya, Lili Adi Sunarya, M. Duyeh, dan Momod (Hasil wawancara dan tinjauan terhadap 5 orang dalang wayang golek dan 6 orang juru golek beserta karyanya).

*** Hanya 2 dari 6 juru golek yang menunjuk hiasan sebagai bagian dari penanda golek tertentu (Dari Jajang Suryana (1995: 260)


NILAI ESTETIS LIHATAN

Nilai estetis wayang tidak bisa didekati hanya sekedar menggunakan patokan estetika Barat. Estetika Barat cenderung hanya membicarakan masalah unsur karya seni yang kasat mata. Unsur estetis seperti garis, bidang, warna, ruang, barik, blabar, dan keseimbangan yang ada dalam boneka golek, misalnya, bisa dianalisis berdasarkan konsep estetika Barat. Tatapi, pada kenyataannya, semua jenis kesenian Timur, lebih khusus yang tradisional, erat juga kaitannya dengan keindahan yang tidak kasat mata. Contohnya, nilai-nilai karya seni yang bersifat perlambangan. Padahal, keindahan tak kasat mata ini sama sekali diabaikan dalam seni rupa Barat.

Secara fisik, raut wayang pada umumnya, "tidak proporsional" bila ditinjau dari sisi teori seni rupa Barat. Perbandingan keseimbangan bagian tubuh seperti ukuran besar kepala, panjang lengan, dan tinggi serta besar tubuh, menunjukkan konsep proporsi yang lain. Dalam pakem raut wayang, proporsi tersebut bertalian dengan gambaran kelompok peranan (raut peranan) dan watak (raut tampang) masing-masing tokoh wayang. Tokoh-tokoh dari kelompok peranan satria memiliki ukuran tubuh yang khas, berbeda dengan tokoh kelompok peranan ponggawa, apalagi buta. Ketiga kelompok peranan tadi, masing-masing memiliki ciri raut yang bisa mewakili kelompoknya. Ketika raut peranan tersebut kita teliti lagi, ada ciri khas lain yang menggambarkan raut tampang lengkap dengan watak tokoh. Sebagai contoh: watak santun digambarkan dengan sikap kepala yang menunduk; ladak (cergas) dengan sikap kepala tegak (dangah) dan tengadah (tanggah); dan berangasan, mudah marah, dengan sikap kepala tengadah. Di samping sikap kepala, warna wajah pun menunjukkan gambaran watak tokoh (putih: tenang, jujur; merah: pemarah, serakah, pendengki; dan hitam: teguh, patuh, keras hati). Warna-warna yang merupakan warna gabungan, misalnya antara putih dengan merah (merah muda) yang menggambarkan watak gabungan: jujur tetapi agak pemarah. Ada juga warna khusus yang hanya dimiliki tokoh tertentu. Misalnya, warna biru muda pada wajah Gatot Kaca ketika tokoh ini ditampilkan sebagai angkatan udara; warna hijau muda pada wajah Gatot Kaca sebagai angkatan darat. Tokoh panakawan Cepot, misalnya, pun memiliki warna wajah yang khusus: warna merah wajahnya sama sekali tidak menggambarkan watak pemberang, watak yang diwakili oleh warna merah pada umumnya.

Untuk lebih jelas, berikut ini adalah contoh beberapa raut peranan dan raut tampang tokoh wayang golek.

RAUT PERANAN SATRIA

Raut peranan satria terdiri atas satria, satria-dewa, satria-raja, satria-pandita, dan satria-ponggawa. Di samping itu, ada juga raut peranan seperti satria-dewa-ponggawa.

Seperti telah diuraikan pada bagan pakem raut golek, raut peranan tokoh golek satria terdiri atas tiga kelompok: satria lungguh, satria ladak tumungkul, dan satria ladak dangah. Ketiga kelompok raut peranan ini masing-masing memiliki ciri yang hampir sama, ciri tokoh satria. Ciri tersebut adalah mata sipit, gabahan, kedelen, atau biasa juga disebut mata jaitan; alis tulis, mecut, ngjeler paeh: alis yang diterapkan juga pada raut peranan tokoh putri (kini menjadi trend tiruan model alis para wanita Indonesia terkenal, seperti para artis). Oleh karena itu, tokoh putri dikelompokkan juga sebagai golongan satria. Di samping ciri mata dan alis, pola mulut (alit galing, mungil), kumis (tulis, tipis), dan hidung (mancrit, mancrit bangir) pun sangat khas. Warna wajah lebih cenderung berdasarkan ciri raut tampang, yaitu sesuai dengan watak masing-masing tokoh. Warna putih, gambaran keluguan, kesantunan, banyak diterapkan kepada raut peranan satria lungguh. Warna gading dan merah muda, banyak juga ditemukan pada wajah tokoh satria ladak tumungkul dan ladak dangah. Memang, warna wajah pada dasarnya lebih mengarah kepada ciri raut yang menunjukkan watak tokoh, bukan ciri golongan.

RAUT PERANAN PONGGAWA

Ponggawa adalah angkatan bersenjata, penjaga keamanan. Raut peranan ponggawa, sejalan dengan tugasnya sebagai "pengawas", memiliki ciri khusus ponggawa. Pola mata, alis, hidung, kumis, rerengon (garis dahi), dan hiasan kepala bagian depan, merupakan penanda raut peranan tersebut yang paling tampak. Sikap kepala dan warna wajah, seperti pada raut peranan satria, menunjukkan watak tokoh ponggawa.

Pada kelompok wayang golek yang berraut peranan ponggawa, seperti satria, terdiri atas beberapa gabungan raut. Di antaranya, ponggawa, ponggawa-dewa, ponggawa-raja, ponggawa-pandita, dan ponggawa-buta. Ada juga yang memiliki tiga ciri gabungan, misalnya ponggawa-buta-raja, seperti tokoh Boma.

Agak menarik bila kita memperhatikan raut tampang tokoh tertentu, seperti Bima dan Duryudana. Bima, diceritakan, adalah tokoh ponggawa-satria yang jujur, teguh pendirian, dan selalu menepati janji. Tetapi, Bima digambarkan tidak pernah menerapkan tata-titi dalam menghadapi siapa saja; mengahadapi dewa sekali pun. Ketidaksantunan tokoh Bima tersebut tidak sejalan dengan (gambaran) sikap kepalanya yang menunduk. Begitu pun tokoh Duryudana. Raja Astinapura ini terkenal berangasan, mudah dipengaruhi, dan licik.

Watak pemarah hanya tampak pada warna merah wajahnya. Sikap kepala tokoh ini tetap menunduk, seperti tokoh-tokoh santun pada umumnya. Tampaknya, penggambaran watak pada raut tampang tokoh cerita Mahabharata memang lengkap, tidak hitam-putih: tokoh santun belum tentu sepenuhnya berwatak baik; tokoh berangasan pada batas-batas tertentu tetap memiliki sisi baik.

Diceritakan, Karna masih keluarga sedarah dengan Pandawa Lima. Tetapi, karena ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Dewi Kunti, ibu keluarga Pandawa, Karna --anak tertua Kunti-- tidak sempat bisa berkumpul dengan adik-adiknya. Dia dipelihara seorang kusir roda. Kepandaiannya dalam ilmu perang sebanding dengan Arjuna, adiknya. Namun, dalam aneka pertandingan di Kerajaan Astina, Karna selalu tersisih karena alasan keturunan. Para Pandawa yang terkenal baik, diceritakan, masih memandang asal keturunan dalam urusan hubungan sosial. Oleh karena itu, Karna selalu ditolak ikut acara perlombaan kerajaan oleh kelompok Pandawa. Sebaliknya, Duryudana yang kemudian licik, berangasan, dan berhasil merebut kekuasaan Kerajaan Astina dari keluarga Pandawa, masih bisa menghargai Karna berdasarkan kepandaiaannya, bukan karena garis keturunannya ("anak seorang kusir").

Pada Cerita Ramayana, watak yang "transparan" itu tampak juga. Misalnya, ketika Rahwana telah berhasil menculik Sinta, dia tidak serta-merta memaksa Sinta. Sebagai penjahat elite, Rahwana masih memegang "etika". Dengan berbagai akal Rahwana berusaha membujuk Sinta: bukan dengan cara kekerasan, seperti watak utamanya.

Begitu pun Rama, ketika Sinta sudah dibebaskan dari cengkeraman Rahwana, dia tidak percaya kepada kesucian istrinya. Padahal, diceritakan, dia adalah raja yang sangat arif bijaksana dan selalu berprasangka baik terhadap yang lain. Atas dasar ketidakperayaan Rama, akhirnya Sinta membakar diri untuk menguji sekaligus menayatakan kesuciannya.

Tokoh Rahwana yang biasa juga dikenal dengan sebutan Dasamuka jarang ditampilkan dalam bentuk yang menggambarkan namanya, sepuluh muka. Para juru golek mengaku bahwa untuk menggambarkan tokoh yang berwajah sepuluh itu sangat sulit. Di samping dituntut satu keterampilan khusus, masalah bahan pun kerap menjadi salah satu alasan, mengapa penggambaran Dasamuka tersebut jarang dibuat. Hanya ada beberapa juru golek muda yang pernah mencoba membuatnya. Misalnya juru golek Hendi dari Padalarang, Kabupaten Bandung. Seperti juga bagian badong Gatot Kaca dan Kresna, misalnya, lebih banyak dibuat dengan bahan kulit, daripada dengan menggunakan bahan kayu utuh.

RAUT PERANAN BUTA

Buta atau raksasa, dalam cerita wayang, terdiri atas buta biasa dan buta garang. Buta biasa adalah jenis buta yang ukuran tubuhnya hampir sama dengan tokoh ponggawa badag, misalnya Bima dan Duryudana. iri keraksasaannya bisa dilihat pada pola gigi yang menonjol, bertaring. Banyak tokoh ponggawa yang bisa dikategorikan ke dalam kelompok ini. Tetapi, karena ciri keponggawaannya lebih menonjol, tokoh seperti itu lebih tepat bila disebut ponggawa-buta. Dalam artian, ciri buta tampak pada bagian giginya saja. Yang termasuk golongan buta biasa misalnya tokoh Cakil.

Raut buta garang, seperti tokoh Arimba, kegarangannya tampil dalam pola garis wajah yang kasar. Hidung medang yang menjadi ciri kebanyakan tokoh buta bisa menampakkan kekasaran perangai tokoh. Mata yang melotot, alis besar yang dilengkapi rerengon, kumis turih, pola mulut yang ditarik ke dalam menghabiskan setengah bagian wajah tampak pinggir, dan gigi besar lengkap dengan taring, mampu menampakkan gambaran raksasa yang menyeramkan.

Pada perkembangan masa kini, ketika pertunjukkan golek lebih banyak menampilkan unsur lelucon, buta tidak lagi menyiratkan tokoh seram. Buta ciptaan baru, kini, telah menjadi bahan mainan, olok-olok, bahkan menjadi bulan-bulanan lawan. Biasanya tokoh-tokoh buta ciptaan baru itu dipertemukan dengan para panakawan. Seloroh dan kritikan muncul dari dialog para buta dan panakawan ini. Inilah bagian cerita yang menjadi daya tarik khusus pertunjukan wayang golek masa kini.

Tampaknya, pengaruh penemuan Ade Kosasih Sunarya terus merebak. Buta-buta untuk keperluan banyolan terus bertambah. Bentuk yang unik, "polah" yang lucu, bahkan mengejutkan seperti bisa muntah misalnya, adalah contoh pengaruh itu. Dan, yang sempat menjadi bahan polemik di media massa dan pertemuan seniman, adalah ketika muncul buta karet yang bisa berkerinyut mukanya, seperti boneka-boneka pada acara teve Muppet Show. Tetapi, pada perkembangan selanjutnya, atas hasil rembukan para pemerhati wayang golek, boneka karet dianggap terlalu jauh menyimpang dari keberadaan boneka golek. Para seniman Sunda perlu bersepakat bahwa boneka tersebut tidak pantas lagi dipakai dalam pertunjukan golek. Oleh karena itu, kini, hanya ada bentuk-bentuk buta yang terbuat dari bahan kayu saja yang dipakai dalam pertunjukan golek.

RAUT TAMPANG PANAKAWAN PANDAWA

Seperti disebutkan di atas, sebuah pertunjukan wayang golek selalu dibumbui tampilan para pelucu, yaitu panakawan. Melalui panakawan, dalang bisa mengolah cerita yang lucu bahkan yang menyentil penonton. Panakawan Pandawa memiliki raut yang khusus. Raut mereka --terdiri atas Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng-- tidak bisa disatukelompokkan karena masing-masing tidak memiliki ciri raut kelompok seperti satria, ponggawa, atau pun buta.

ANTARA CIBIRU, CIBIRU LAMA, DAN CIBIRU BARU

Wayang golek yang diciptakan oleh Ki Darman masih sangat sederhana bentuk dan hiasannya. Meskipun bukan golek ciptaan awal, beberapa golek kuno masih bisa diteliti untuk bahan perbandingan dengan golek yang diciptakan setelahnya. Ketika tulisan ini disusun, M. Duyeh, seorang juru golek asli Cibiru, masih menyimpan seperangkat golek yang diperkirakan telah berusia 150-an tahun. Golek-golek ini merupakan milik dalang kondang dari Bogor, yang sering tampil di Istana Bogor ketika masa pemerintahan Presiden Soekarno. Selanjutnya, oleh keuturunan dalang tersebut dihibahkan kepada M. Duyeh.

Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 2 Pakem Raut Golek, diakui oleh para juru golek bahwa pakaian golek tidak termasuk ke dalam keharusan pakem. Artinya, para juru golek bisa secara bebas memberi pakaian kepada boneka golek buatannya. Tampaknya, pakaian lebih banyak disesuaikan dengan kondisi zaman. Perubahan itu tampak pada penggunaan bahan hiasan pakaian. Golek masa kini cenderung berpakaian warna cerah --sejalan dengan ketersediaan bahan dan kemampuan keuangan para juru golek. Penggunaan payet, mute, dan benang wol sangat dominan. Bahan beludru dan batik banyak dipilih untuk pakaian dan sarung. Hal ini seimbang dengan warna-warna hiasan kepala golek yang menggunakan bahan cat duko.

Secara cermat bisa kita teliti pola warna hiasan bagian kepala boneka golek, yang merupakan bagian raut golek yang terikat pakem. Gaya Cibiru Kuno warna-warna hiasan kepala cenderung kuning polos dan hitam. Warna putih dan merah kadang-kadang digunakan untuk memberi ketegasan bagian hiasan. Pola warna turunan (gradasi) sudah tampak walaupun hanya terdiri atas tiga tingkatan (misalnya: hitam, kelabu, putih). Pola sablonan belum digarap. Bagian rambut digarap dalam pola global. Bahan cat masih menggunakan cat kayu yang cenderung kusam.

Boneka golek Gaya Cibiru Lama sudah mulai berubah warnanya. Warna kuning, di sini lebih mengutamakan warna brom (kuning emas), yang dominan pada golek Cibiru Kuno, masih dipertahankan. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, hijau, dan ungu mulai ditambahkan. Warna turunan telah menjadi empat tingkatan, ditambah goresan-goresan halus di atasnya. Hiasan jamang susun (bentuk segitiga pada dahi) mulai diisi warna selain warna brom. Pola ukel pada bagian rambut masih patuh mengikuti gaya kuno. Bahan cat sudah mulai berubah menggunakan cat duko.

Pada boneka golek Cibiru Baru, warna kuning diganti dengan bahan cat duko yang lebih cerah. Warna brom hanya diterapkan pada bagian-bagian kecil hiasan. Warna turunan sedikit berubah. Pada gaya Cibiru Lama warna turunan ini cenderung ke warna hijau dan ungu. Sedangkan pada gaya Cibiru Baru ccenderung ke warna biru. Hiasan jamang susun telah diisi penuh oleh warna hiasan pola sablonan, yang terdiri atas warna kuning cerah, merah, putih, dan hijau. Sumping atau hiasan teling bagian belakang telah diisi penuh oleh hiasan sablonan. Bentuk bunga-bungaan menjadi ciri tambahan lainnya, terutama pada golek yang menggunakan hiasan supit urang, seperti tokoh Arjuna. Pola rambut telah digarap lebih "nyata" dengan menambahkan goresan-goresan yang mengesankan helai rambut. Warna merah selalu ditemukan mengisi bagian dalam hiasan garuda mungkur. Secara lihatan, golek Cibiru Baru berwarna lebih cerah dibanding warna golek Cibiru Lama maupun Cibiru Kuno.

NILAI ESTETIS NON-LIHATAN

Keindahan raut yang tidak kasat mata (niskala ,non-lihatan, non-visual) hanya bisa dirasakan oleh penikmat yang memiliki latar pengetahuan dan akar budaya tentang cerita wayang. Para penikmat yang lebih mengutamakan kenikmatan lihatan (visual) hanya bisa menangkap unsur-unsur lihatan seperti garis, bidang, barik, warna, isi, dan blabar. Keindahan yang niskala itu terutama bisa dirasakan, misalnya, dalam kesesuaian watak dengan gambaran simbolis yang muncul pada sikap kepala, warna wajah, tebal garis alis, bentuk hidung, tinggi tubuh, bentuk mata, ukuran mulut, kumis, gigi, dan garis-garis penguat (seperti rerengon). Tokoh yang pemberang, misalnya, digambarkan dengan mata melotot (kedondong), rerengon turih, hidung besar, kumis besar, warna wajah yang merah cabai, dan sikap kepala mendongak. Bahkan sering juga ditambah taring. Akan terasa berbeda dengan tokoh yang santun, seperti rata-rata satria, yang bermata tulis, hidung mungil, warna wajah putih, alis tulis, mulut biasa, dan sikap kepala menunduk. Gambaran budaya keraton Jawa, terutama dalam menampilkan cara hormat, tata-titi, sopan santun seseorang, adalah dengan sikap menunduk, mata setengah terpejam. Siap mendengar apa pun yang dibicarakan orang, tanpa perlu melihat atau menentang wajah. Berbeda dengan gambaran watak sombong yang ditampilkan dengan sikap menengadah, mata melotot, wajah bergaris kasar, dan rona muka merah.

Ketekunan para juru wayang dalam meramu lambang untuk menangkap watak tokoh sulit dicari tandingannya. Mereka secara teliti memilah ciri raut tampang masing-masing tokoh dalam aneka penanda yang berbeda-beda. Bahkan, untuk melengkapi tampilan watak tokoh tertentu, terutama tokoh yang menjadi peran utama dalam sebuah cerita, mereka menemukan pemecahan cara melalui penciptaan wanda. Apa yang tertulis, tersebut, tercatat dalam cerita, tentang watak satu tokoh, ditafsirkan ke dalam tampilan raut muka tokoh tersebut. Belum ada boneka yang memiliki gambaran watak yang ditokohkannya selengkap yang ada pada raut wayang.

DAFTAR PUSTAKA RUJUKAN

BUKU

Amir, Hazim, 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Direktorat Museum, Ditjend. Kebudayaan, Departemen P & K, 1979. Pameran Wayang Kulit Museum Bali

Guritno, Pandam, 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia Dan Pancasila. Jakarta: UI-Press

Haryatno, S., 1991. Seni Kriya Wayang Kulit Seni Rupa Tatahan Dan Sunggingan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Ismunandar K, R.M., 1988. Wayang, Asal-Usul Dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize

Mertosedono, Amir, 1990. Sejarah Wayang Asal-Usul Dan Cirinya. Semarang: Dahara Prize

Sagio dan Samsugi, 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta: Haji Masagung

Salmun, Mas Adung, 1986. Padalangan. 2 jilid. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Soedarso, Sp., 1987. Wanda Suatu Studi Tentang Resep Pembuatan Wanda-Wanda Wayang Kulit Purwa Dan Hubungannya Dengan Presensi Realistik. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Jacanologi), Ditjend. Depdikbud

Soekatno, 1992. Wayang Kulit Purwa Klasifikasi Jenis Dan Sejarah. Semarang: Aneka Ilmu

Soepadi, Atik. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka Buana

Soepadi, Atik. 1985. "Keadaan dan Perkembangan Kesenian Sunda Tradisional Masa Kini", dalam Soedarsono (Peny.), Keadaan Dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama, Dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, Dan Sunda. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Suseno, Franz Magnis, 1991. Wayang Dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia

Wibisono, Gunawan, 1974. "Wayang Sebagai Sarana Komunikasi". Bunga Rampai (1983). Jakarta: Gramedia

Widodo, Ki Marwoto Panenggak, 1990. Tuntutan Ketrampilan Tatah Sungging Wayang Kulit. Surabaya: Citra Jaya Murti

Yudoseputro,M. Wiyoso. Wawancara, Mei 1994.

SKRIPSI, TESIS, DISERTASI

Jajang S., 1995. Kajian Tentang Raut Wayang Golek Sunda Ditinjau Dari Latar Belakang Watak Tokoh. Tesis pada Fakultas Pascasarjana ITB, Bidang Seni Murni (Telah diterbitkan atas kerja sama Yayasan ADIKARYA IKAPI dan THE FORD FOUNDATION dengan judul Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek, Januari tahun 2002)

Sutarman, Djauhari, 1968. Wayang Golek Purwa Pada Masyarakat Sunda. Suatu Tinjauan Serta Saran- Saran Dari Segi Seni Rupa. Skripsi pada Jurusan Seni Rupa, Departemen Perencanaan dan Seni Rupa ITB

Tabrani, Primadi, 1991. Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning Dari telaah Cara Wimba Dan Tata Ungkapan Bahasa Rupa Media Ruparungu Dwimatra Statis Modern, Dalam Hubungannya Dengan Bahasa Rupa Gambar Prasejarah, Primitip, Anak Dan Relief Cerita Lalitavistara Borobudur. Disertasi pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

MAKALAH

Soedarso, Sp., 19887. Morfologi Wayang Kulit, Wayang Kulit Dipandang Dari Jurusan Bentuk. Pidato Ilmiah pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia, Yogyakarta 25 Juli 1987

KORAN, MAJALAH, DAN JURNAL

Harian Bali Post, 27 Oktober 1996; 4 Nopember 1996

Harian Kompas Minggu, 1 Mei 1994

Harian Pikiran Rakyat, 25 Januari 1988; 20 Mei 1994

Harian Republika, 3 September 1995

Majalah warta wayang Gatra, No. 19.I.1989; 22.IV.1989

Menghidupkan Golek dalam Buku (Prasi: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajarannya, FPBS-IKIP Negeri Singaraja, Vol.2, No. 4 Juli-Desember 2004)

No comments:

Post a Comment